Ketika Imam ath-Thabari ingin
menulis kitab tarikh, beliau berkata kepada muridnya : “Maukah kalian
menulis kitab tarikh dari zaman Nabi Adam hingga zaman kita saat ini?” Kemudian
muridnya berkata : “Berapa banyak?” Imam ath-Thabari menjawab : “Tiga puluh
ribu lembar!” Kemudian muridnya menjawab : “Ini tidak mungkin selesai walaupun
kita sudah meninggal.” Lalu Imam ath-Thabari berkata : “Innalillahi, matatil
himam! (sudah tidak ada tekad).” Kemudian beliau meringkasnya menjadi
3.000 lembar.
Ketika Syeikh Hisyam menawarkan
saya dan teman saya untuk mengetikkan tulisan beliau untuk muqarar mata kuliah Asbabun
Nuzul, saya teringat dengan kisah Imam ath-Thabari ini. Bedanya kitab yang
beliau tawarkan ke muridnya setebal 3000 lembar. Kalau kitab yang saya dan
teman saya ketik cuma 30 lembar. Bedanya
100 kali lipat.
Dan ternyata itu bukan hal yang
mudah, disamping harus beradaptasi dengan keyboard yang tidak ada tulisan
arabnya, juga khat Riq’i Syeikh Hisyam –barakallahu fii kulli umuurihi- yang belum
terlalu bisa saya baca. Kata orang khat riq’i itu biasa digunakan oleh
orang-orang pintar. Mungkin tulisannya seperti tulisan dokter dalam bahasa
Arab. Mafhum kalau teman saya mengatakan bahwa khat ini adalah tulisan
orang-orang pintar, tulisannya simpel dan nggak ribet. Tapi tetep, saya masih
belum bisa menggunakan khat riq’i walaupun telah mencoba latihan berkali-kali
untuk bisa menggunakan khat riq’i. Ujung-ujungnya malah bukan mirip khat riq’i,
tapi malah tulisan ceker ayam.