Saturday 5 January 2013

Hujan, Petir dan Kanak-kanak


Hujan deras mengguyur Desa Pakel dan sekitarnya di akhir sore menjelang Maghrib. Kemungkinan tasmi’ bersama teman besar. Harap-harap cemas menunggu hujan segera reda, was-was target minggu ini tak tercapai. Allah berkehendak lain. Musyrif kami izin dan itu berarti kami harus tasmi’ berpasang-pasangan. Tak mengapa, toh aku bisa melancarkan hafalan-hafalanku sebelumnya. Aku berniat untuk menyambangi kamar depan selepas Maghrib mencari pasangan tasmi’.

Rintik-rintik hujan masih terus bercucuran. Sepertinya mereka enggan berhenti membuat suasana menjadi semakin syahdu. Merayu setiap insan untuk menarik selimutnya dan menyambangi kasur empuk mereka. Virus menguap pun mulai bertebaran di seantero asrama. Penyebarannya mengalahkan virus brontok maupun trojan. Ini masih Mahgrib kawan!

Beruntung aku sudah mempunyai antivirus. Antivirus yang lebih jahat dari Kaspersky yang menganggap extension file maktabah Syamilah sebagai virus. Sebuah kertas mungil berwarna biru muda terpampang di halaman depan mushaf pink yang selalu menemani. Huruf-huruf tak beraturan dengan pena biru memenuhi kertas mungil biru muda tadi. “Bapak and Ibu”. Hanya kata tiga buah suku kata yang sangat sederhana tapi memiliki arti luar biasa. Dan ini mengingatkan akan targetku 301 halaman di semester ini. Aku tidak boleh kalah. Tiga ratus satu halaman terus memenuhi kepalaku. Ditambah dengan bayang-bayang Bapak dan Ibu tersenyum kepadaku. Bangkit Rahma.

Jaket pink dengan kupluk yang sedang menghangatkan diri di dalam lemari aku ‘paksa’ ke luar. Maaf kawan, aku ingin kau menemaniku malam ini menembus rintik-rintik hujan ke tetangga sebelah. Belum sempat bertarung dengan hujan seorang kawan memanggil. “Rahma...mau ana simak?”
“Kakak mau tasmi’ sama siapa?”, tanyaku.
“Ana tasmi’ sama tetangga sebelah. Tapi nggak papa, sini Rahma ana simak”, tawarnya.
Alhamdulillah, selamat kawan kau tak perlu bertarung dengan rintik-rintik hujan itu malam ini.
“Mau berapa Rahma?”, tanyanya.
“Lima halaman aja kak.” What? Bukankah tabunganmu tadi sore 20 halaman? Kenapa sekarang menurun jadi empat kali lipat kawan? Tenanglah, tabungan itu aku simpan untuk besok, dan aku tidak ingin mengganggu waktu kakak yang sedang sibuk ini. Bismillah semoga tabunganku tetap terjaga hingga esok.

Hujan masih enggan untuk berhenti. Mereka sedang senang membagikan nikmat Allah kepada seluruh makhluk Allah di dunia. Bukankah hujan sebuah nikmat?

Suara rintik-rintik hujan menambah suasana syahdu. Lantunan ayat al-Quran terdengar makin indah dengan back sound rerintik hujan. Halaman keempat hampir selesai, berarti rintangan akan segera muncul di halaman kelima. Bagian ini banyak dijadikan momok oleh banyak teman seperjuangan. Junior pun berkata demikian. Bisa jadi karena ini tentang perceraian, sebuah hal yang menakutkan.

Memasuki lembar kelima, suara langkah kanak-kanak tertawa penuh canda terdengar. Mereka datang. Mereka datang di saat aku memasuki halaman kelima. Suara tawa renyah mereka beriringan dengan tilawah al-Qur’an. Sebentar lagi suara mereka akan merusak halaman kelimaku jika fokus hilang. Menutup telinga dan memejamkan mata. Sepertinya cara ini ampuh.

“Assalamu’alaikum... Kak Rahmaaaaaa!” satu-persatu mereka bersahut-sahutan. Halaman kelima ini harus selesai dengan gilang gemilang. Kau pasti bisa kawan. Kurang tiga baris. Hadapi tiga baris ini tanpa hambatan kawan. Sayang pada baris kedua sebelum akhir konsentrasiku buyar. Kakak baik hati yang menyimakku pun harus menuntunku untuk sampai di baris terakhir. Nilai kurang sempurna menjadi kawanku malam ini.

“Kak Rahma... ceritaaaaa!” ucap empat anak laki-laki dan empat anak perempuan serempak.
“Lho kemarin sudah cerita. Berarti hari ini kita murajaah.”
“Cerita aja!”, ucap anak lelaki pemberani yang dibait menjadi pemimpin mereka.
“Iyaaa cerita aja...” pinta anak lelaki dermawan yang pengertian.
“Ini aku sudah bawa buku ceritanya.” Ucap anak lelaki jujur sambil mengeluarkan sebuah buku bertuliskan ‘Kisah Hewan-hewan dalam Al-Qur’an.
“Insya Allah nanti cerita. Tapi sehabis ngaji baru kita cerita.” Saranku.
“Yaaaaah...”, seru mereka bersamaan, kecuali seorang anak lelaki lincah terkecil.
“Aku ngaji duluan Kak. Tapi habis itu cerita lho ya...” ucapnya percaya diri dengan sedikit logat jawa.

Rintik-rintik hujan masih setia menemani. Menambah suasana bertambah syahdu disertai lantunan surat al-Fiil anak laki-laki lincah terkecil. Suara has kanak-kanak. Suara yang selalu membuat hati para pecinta kanak-kanak merasa tentram. Sebuah kilatan cahaya datang menyertai rintik-rintik hujan. Sang Guntur datang setelah kilatan cahaya pergi.

“Waaah....subhaanaladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min khifatiih.” Ucap kanak-kanak serempak. Hey... apa yang mereka ucapkan barusan? Bukankah itu terletak di halaman 250 baris terakhir?  Otakku berputar. Lobus temporal mulai mencerna informasi yang baru didengar. The left side of brain sibuk menerjemahkan bahasa dari lobus temporal.

Empat puluh lima detik, otak kiri berhasil menyelidiki apa yang terjadi. Yang mereka ucapkan barusan bukankah itu doa yang diucapkan ketika melihat petir dan mendengar guntur? File doa ini sepertinya sudah lama menjadi hidden file bersama tumpukkan hidden file lainnya dalam otak. Dan baru saja setting-an folder option dalam otakku diubah oleh kanak-kanak cerdas ini. Hidden file ini muncul kembali.

Lupa. Yah aku lupa dengan doa ini. Doa ini pernah singgah di otakku. Ia merasa kesepian tak ada amal yang menemaninya. Ia protes meminta amal, sahabat setianya menemaninya. Akhirnya ia memilih untuk bersembunyi, menyendiri. Ia bersembunyi, protes menunggu si pemilik otak datang menjemputnya ditemani sahabat sejatinya, amal. Ia ingin tahu seberapa pentingkah dirinya bagi si empunya otak ini.  

Kilatan cahaya muncul kembali bagai blitz kamera saku milik Kakak cantik. Suara guntur menyusul kilatan cahaya tadi beberapa saat kemudian. Kanak-kanak cerdas kembali berseru subhaanaladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min khifatiih.

Hey.. kawan, tidak malukah engkau dengan mereka? Mereka belum kenal apa itu tafsir, ta’wil, tahlili maupun maudhui. Arti ra’du pun mereka belum tahu. Tapi mereka menjaga dengan baik doa yang mereka dapatkan. Kanak-kanak itu menghadirkan sahabat baik doa, amal dalam kehidupan sehari-harinya.

Doa yang mereka ucapkan hanya mereka kenal di sekolah. Ibu guru selalu menanyakan doa itu ketika ujian. Tapi doa itu menghiasi hari-hari mereka. Apalagi di musim hujan seperti ini. Doa itu tidak hanya mereka lantunkan di kala ujian atau di tanya Ustadzah.

Dalam sekejap kanak-kanak itu seperti masayikh dengan banyak ilmu bagiku. Dan aku merasa menjadi anak kelas satu sekolah dasar yang belum tahu apa-apa. Yah kanak-kanak itu adalah masayikh luar biasa. Mereka cerdas. Sangat cerdas. Mereka seorang alim. Bukankah seorang alim adalah orang yang berhasil mengamalkan ilmu yang didapat?

Kilat kembali muncul diiringi bunyi guntur yang cukup menggema di seantero Pakel. Lagi-lagi kanak-kanak itu berseru :
سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
"Maha Suci Allah yang telah menjadikan kilat ini memuji-Nya dan juga Malaikat karena takut kepada-Nya." (HR. Malik dalam Muwatha'nya dari hadits Amir bin Abdullah bin al-Zubair Radhiyallahu 'Anhu. Imam Nawawi menyebutkannya dalam al-Adzkar, hal. 164. Isnadnya adalah hasan sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albani dalam al-Kalim al-Thayyib dengan tahqiqkannya, hal. 156)

Rintik-rintik hujan berganti dengan butiran-butiran air yang semakin deras. Angin mulai genit mencolek pipi-pipi kami. Suasana pun menjadi bertambah syahdu dengan lantunan surat al-Insan seorang anak perempuan baik hati. Menyadarkan akan hakikat sejati asal-usul penciptaan diri.

_Hujan Deras, Pakel_

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template