Sejarah Demokrasi
Demokrasi atau bahasa Sundanya teh democracy berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) yang artinya "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan". Sistem pemerintahan ini merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Konsep demokrasi dicetuskan oleh seorang negarawan Yunani pada tahun 431 SM. Ia mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria, yaitu : pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung, kesamaan di depan hukum (tidak untuk Islam), dan menghargai pluralisme. Ada beberapa filosof yang ikut menyuarakan konsep demokrasi ini, seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero. Pada zaman itu konsep ini hanya laris di Yunani dan Romawi.
Demokrasi mulai marak kembali 17 abad kemudian , di masa Renaissance, dengan kehadiran Nicolas Machiavelli (1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Montesqieue (1689-1755), dan Jean Jacques Rousseaue (1712-1778), sebagai reaksi atas otoritarianisme monarki dan gereja. Kemudian demokrasi mulai berkembang dengan berbagai varian dan versinya sesuai tempat diterapkannya. Seperti di Indonesia, model demokrasinya demokrasi Pancasila.
Setelah berkembang pesat di Eropa dan Amerika, demokrasi kemudian mulai menjalar ke kawasan Asia dan Afrika sebagai sistem pemerintahan yang up to date, sejalan dengan perolehan kemerdekaan bangsa-bangsa di dua benua ini.
Konsep yang dianut oleh sistem pemerintahan demokrasi adalah “government of the people, by the people, and for the people” atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Borok Demokrasi
Dewasa ini demokrasi dianggap sebagai alternatif perjuangan manusia dalam rangka mewujudkan cita-cita “ideologisnya”. Demokrasi dianggap mampu memberikan jaminan keamanan, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Bahkan, lebih parahnya lagi ada yang beranggapan bahwa demokrasi adalah puncak tertinggi sistem kehidupan manusia. Benarkah seperti itu?
Demokrasi dengan asas kebebasannya membuat hal-hal yang serba terkekang pada masa orde baru jadi lebih bebas. Peluang berdakwah yang terhambat pada masa orde baru jadi lebih bebas. Namun, sayangnya para penganut demokrasi terlalu berlebihan memaknai ‘asas kebebesan’ yang merupakan landasan pokok demokrasi. Kebebasan tersebut diantaranya mencakup :
1. Kebebasan Berpendapat
Rakyat bebas berpendapat dan menciptakan nilai menurut penilaian dan kemauan mereka. Mereka pun tidak lagi tunduk pada kacamata “halal-haram” Alloh, tetapi menurut hawa nafsu mereka. Apakah dalil kebebasan berpendapat menghalalkan mereka sesuka hati menetapkan hukum, walaupun harus bertentangan dengan syariat Islam?
2. Kebebasan Berekspresi
Demokrasi memang sudah benar-benar melahirkan crazy expressions. Budaya korupsi, budaya datang duduk diam dan menunggu tanggal gajian, budaya ghibah, budaya pergaulan bebas, budaya selingkuh, budaya pelacuran, dan budaya-budaya lainnya yang sudah melenceng dari moral dan akhlak yang Islami. Kaum hawa dengan bangga memamerkan setiap jengkal tubuhnya dengan alasan ‘kebebasan berekspresi’ tanpa merasa risih atapun malu. Kebebasan seperti inikah yang selalu dipuja-puja mereka?
3. Kebebasan Beragama
Para penganut demokrasi menganggap urusan agama adalah urusan antara individu dan Tuhannya. Negara tidak ada hubungannya dengan keyakina seseorang. Negara tidak diperbolehkan turut campur dalam urusan agama. “Negara ya negara, agama ya agama”, begitulah kira-kira semboyan mereka. Parahnya lagi, apabila negara mengatur hak-hak pribadi rakyatnya (khususnya dalam masalah agama), maka pemerintah telah melanggar undang-undang. Pemerintah sulit memberantas berbagai pendapat atau perilaku menyimpang, kecuali jika publik secara luas merasa dibuat resah. Begitu juga yang terjadi di tanah air saat ini, pemerintah merasa kesulitan untuk membubarkan Ahmadiyah. Inilah salah satu misi Yahudi untuk menghancurkan Islam.
4. Kebebasan Kepemilikan
Setiap orang bebas memiliki apapun, asalkan mampu. Bumi, air, dan kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pihak yang mempunyai dana lebih besarlah yang akan menguasai. Contoh nyatanya, pemerintah mulai melakukan privatisasi dan swatanisasi BUMN yang sebenarnya merupakan aset negara, seperti PT. Krakatau Steel dan PT. PLN Persero.
Poin-poin kebebasan diatas bukannya menyejahterakan rakyat, tetapi malah memperburuk keadaan rakyat. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin lebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin.
Lucunya lagi, para tokoh pencetus demokrasi justru mengkritisi sistem pemerintahan yang mereka cetuskan. Plato mengatakan bahwa demokrasi justru merupakan sistem yang berbahaya dan tidak praktis. Aristoteles pun menambahkan, “Pemerintah yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para penghasut dan akhirnya akan jatuh menjadi kediktatoran”.
Demokrasi Menurut Kacamata Islam
Dari uraian di atas sudah cukup jelas bahwa demokrasi bukanlah berasal dari Islam. Dalam demokrasi segala bentuk perselisihan diserahkan kepada rakyat, bukan kepada Alloh dan Rasul-Nya, Alloh subhanahu wata’ala berfirman :
“... Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian...” (An-Nisa’ : 59)
Alloh Ta’ala menetapkan bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Alloh dan Rasul-Nya, yaitu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan, demokrasi adalah sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang -dalam kacamata demokrasi- boleh berkeyakinan apa saja yang dia kehendaki, bebas memilih agama apa saja yang diinginkan. Dan jika ingin keluar dari Islam dan berganti dengan agama lain atau bahkan menjadi atheis sekalipun maka tidak ada masalah dan tidak boleh dipermasalahkan.
Abdul Ghani Ar-Rihal dalam bukunya Al-Islamiyun wa Saraabud Dimuqratiyah mengatakan bahwa sumber hukum demokrasi berasal dari rakyat karena demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat. Keinginan dan kesepakatan rakyat yang merupakan hamba Alloh, dianggap keinginan dan kesepakatan Allah, walaupun bertentangan dengan syariat Islam. Padahal hukum tertinggi adalah milik Alloh subhanahu wata’ala :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّالله
“Yang berhak menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” Demokrasi juga memiliki prinsip bahwa segala sesuatu ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, entah benar ataukah salah. Dalam Islam kebenaran dan kebathilan sudah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Baik itu ditentang ataupun dibela, dibenci ataupun disukai oleh manusia tetap tidak akan berubah. Keputusan tertinggi hanyalah milik Alloh azza wa jalla semata, bukan di tangan suara mayoritas manusia.
Lalu masihkah kita membebek pada hukum yang bukan dari Islam?
Wallahu a’lam bishowab
0 comments:
Post a Comment