Yup abis ujian berburu bacaan. Alhamdulillah nemu buku kumpulan tweet yang recomended banget buat dibaca. Insya Allah nggak bakal nyesel deh baca buku ini. Ini ada salah satu tulisan gurunda Salim A. Fillah yang bikin greget banget. Terutama buat para pemula di bidang tulis menulis seperti saya. Hepi reading guys :)
Menulis
adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia-Nya, begitu agung
dayanya menampung sedemikian banyak data-data. Tetapi kita kadang kesulitan
memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan
bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk
buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk
sekitab. Demikianlah kita pahami kalimat indah asy-Syafi’i, “Ilmu adalah
binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikutnya.”
Menulis
juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah
ilmu dan dikarunia pengertian. Adakah kemajuan? Itu bisa kita tahu jika kita
rekam sang ilmu dalam lembaran. Kita bisa melihat perkembangannya hari demi
hari, bulan demi bulan. Jika tulisan kita tiga bulan lalu telah bisa kita
tertawai, maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga, itu
menyedihkan.
Lebih
lanjut, menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak, yang dari berbagai
sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku,
menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan, tapi kebenaran pemahaman
kita belum terjaminkan. Maka menulislah, agar jutaan pembaca menjadi guru yang
meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.
Penulis
hakikatnya menyapa dengan ilmu, maka ia berbalas tambahan pengertian; kian
bening, kian luas, kian dalam, kian tajam. Agungnya lagi, sang penulis
merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak diputus
usia, tak terhalang jarak. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba
Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis
mengabadi. Tetapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya
nama, ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.
Andaikan
benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de
Borgia itu jadi kawan tidur para tiran seperti terisu tentang Napoleon, Hitler,
dan Stalin; akankah dia bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang
terilhami bukunya? Sebab bukan
hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’, melainkan ada juga dosa yang terus
mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. Mungkin tak separah Il Principe,
tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan
berantai-rantai.
Dan
bahagialah bakda pengingat, huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan
ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. Lalu terkejutlah para penulis
kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa
pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya amalmu sedikit, dosamu
berbukit, tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kau tebarkan.”
Tulisan shahih dan mushlih, jadi jaring yang melintas segala batas;
menjerat pahala orang terilhami tanpa mengurangi si bersangkutan.
Menulis
juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama
ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut di hadits riwayat
Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluk pertama yang
dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berkalam, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang
harus kutulis Rabbi?” Kata Allah, “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi
semua makhluk-Ku.” Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam dan membuatnya unggul
atas malaikat yang lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata (Surat al-Baqarah
ayat 31)
Dan
“Baca!”, adalah wahyu pertama. Bangsa Arab yang mengukur kecerdasan dari
kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca. Sebab menulis-kata
mereka-ialah alat bantu bagi hafalannya di bawah rata-rata tiba-tiba meloncat
ke ufuk, jadi guru semesta.
Muhammad
hadir bukan dengan mukjizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata
yang menukik-menghujam, disebut ‘bacaan’. Maka Islam menjelma peradaban ilmiah
dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke
seantero bumi. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari
kita. Sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah dunia.
Bagaimana
sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersisa, tak jadi tragika, dan tak
menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? Saya mencermati setidaknya
ada tiga kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk,
Daya Isi, dan Daya Memahamkan.
Daya
Ketuk
Daya
ketuk ini paling beras dibahas; yang mericau ini pun masih jauh dan terus
belajar (apalagi saya?) Ia masalah hati dan terkait niat dan keikhlasan. Pertama
marilah jawab ini: (1) Mengapa saya harus menulis? (2) Mengapa harus ditulis?
(3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
Seberapa
kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya
tahan kita melewati aneka tantangan menulis. Alasana kuat tentang diri, tema,
dan akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, membakar,
menekunkan. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang
mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk menyentuh menggerakkan. Tetapi,
tak cukup hanya hati bergairah dan bersemangat menyala saja jika yang kita
kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.
Menulis
memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut
hanya kepada-Nya. Cinta kebenaran di atas segala. Allah gambarkan keikhlasan
sejati bagai susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan; murni,
bergizi, memberi tenaga suci dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna
oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertakwa ( Surat
an-Nahl ayat 66). Maka untuk menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak
mudah, ada goda kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah.
Jika
ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis
menjadi bergizi, memberik arti mudah dicerna menjadi amal suci. Sebaliknya, penulis
tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan
limbah, lalu disajikan pada pembaca. Ya Rabbi ampuni bengkoknya niat di hati,
ampunnya bocor syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis
dan berbagai.
Sebab
susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan dua hal : a) pembaca muak,
mual dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. Atau lebih oarah: b)
pembaca begitu rakus melahap tulisan kita, tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit
berbahaya. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian, agar Allah tumbuhkan
di hati pembaca pohon ketakwaan. Itulah daya ketuk sejati.
Daya
sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca, bukan didapat dari wudhu dan
sholat yang dilakukan niat semata menoreh kata. Ia ada ketika kegiatan
menghubungkan diri dengan Dzat Mahaperkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi
telah menyatu dengan jiwa lalu menulis itu sekedar satu dari berbagai pancaran
cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan yang mengemuka.
Daya
Isi
Setelah
Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca
ternganga, lalu bingung harus berbuat apa. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf
dan tergugah, tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak;
jadilah masalah baru.
Daya
Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar, “Fakidusy
syai’, laa yu’thi; Yang tak punya tak akan memberi”. Menjadi penulis adalah
menempuh jalan ilmu dan berbagi, membaca ayat-ayat tertulis; menjala
hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.
Ia
menyimak apa yang dikalamkan Tuhannya, mencerminkan mati yang memancar dari
hidup Rasul-Nya, dan membawakan makna ke alam tinggalnya. Dia pahami ilmu tanpa
mendikotomi, tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap nisbi;
mencerahkan akal dan hati. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi
bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi. Penulis
sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks, tapi disertai
kepahaman latar belakang dan kedalaman tafsir. Dengan proses internalisasi,
semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah; pembacanya
mengasup ramuan bergizi. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’;
tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.
Atau
mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum lama dikenali. Diperlukan
ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan
kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas dipahami agar jiwa-jiwa yang baik
tergerak kuat untuk bertindak. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka
ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang kaidah shahih dan
tertentu.
Dia
hubungkan makna yang kaya, fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks;
fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan sisi insaniyah. Dia menularkan jalan
ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam
diri, tapi kian harus mencari. Ia bawakan pemaknaan penuh warna, beda bagi
masing-masing pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru,
mengilhami selalu. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan,
catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.
Daya
Memahamkan
Seorang
penulis menggugah memulai Daya Memahamkannya dengan satu pengakuan jujur; dia
bukanlah yang terpandai di antara manusia. Sang penulis sejati juga memahami,
banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan
dirinya sendiri. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding
pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”
Setiap
tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak
tahu!” pasti berat dan membuat penat saat dibaca. Kadang senioritas atau lebih
tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang
penulis merasa lebih tahu. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah, dari “Aku tahu!
Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa yang lebih adil, haus ilmu dan rendah hati.
Penulis
sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis untukmu, maka
berbagilah denganku apa yang kau tahu.” Penulis sejati sama sekali tak berniat
mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka
mengoreksi. penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan
kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. Penulis sejati
jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; beribu
pembaca menjelma guru berjuta ilmu.
Inilah
yang jadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya
adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati. Pada sikap sebaliknya, kita
akan menemukan tulisan beribu kali berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung
memahami. Lebih parahnya, keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak
berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti.
Jika
lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas
dengan banyak istilah yang justri membuat mual. Kesantunan Allah jadi pelajaran
buat kita Rasul-Nya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tetapi dalam
kalam-Nya, Dia menjelaskan. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah
dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan
dekat dudul dertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus dan tebal, pelayan
hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli. Allah Mahatahu, tak
bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diri-Nya bukan sebagai Ilah awal-awal,
melainkan Rabb yang lebih dikenal.
Penulis
sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya,
bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka. Penulis sejati mengerti; dalam
keterbatasan ilmu yang dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan
merumitkan yang sahaja. Itu pun tidak dalam rangka mengajari, tapi berbagi. Dia
haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambah data.
Penulis
sejati juga tahu, yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya
sendiri. Daya memahamkan berhulu di sini. Sebab seringkali kegagalan penulis
memahamkan pembaca disebabkan dia pun tak memahami apa yang ditulisnya itu
dalam amal nyata. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang
adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan dengan
tekad bulat tuk menjadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, dan berbagi
pada pembaca dengan hangat, akrab, dan penuh cinta.
Kita
telah tahu, menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada
kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia. Maka menulis hanya salah
satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, amal
shalih, dan saling menasihati. Jika ada amal lain yang lebih kuat dampaknya
dalam ketiga perkara itu, maka kita tak boleh ragu, tinggalkan menulis tuk
menujunya.
Disarikan dari buku Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah
PS : kata-kata 'firman' dalam tulisan ini saya ubah menjadi 'kalam'. Saya ingin mencoba membudayakan 'kalam' daripada 'firman'. Alasannya sila cek di postingan ini :)
0 comments:
Post a Comment