Tuesday, 12 February 2013

Menulis itu Bercara


Yup abis ujian berburu bacaan. Alhamdulillah nemu buku kumpulan tweet yang recomended banget buat dibaca. Insya Allah nggak bakal nyesel deh baca buku ini. Ini ada salah satu tulisan gurunda Salim A. Fillah yang bikin greget banget. Terutama buat para pemula di bidang tulis menulis seperti saya. Hepi reading guys :)

Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia-Nya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab. Demikianlah kita pahami kalimat indah asy-Syafi’i, “Ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikutnya.”

Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikarunia pengertian. Adakah kemajuan? Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran. Kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. Jika tulisan kita tiga bulan lalu telah bisa kita tertawai, maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga, itu menyedihkan.

Lebih lanjut, menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak, yang dari berbagai sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan, tapi kebenaran pemahaman kita belum terjaminkan. Maka menulislah, agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.


Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu, maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam. Agungnya lagi, sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak diputus usia, tak terhalang jarak. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi. Tetapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama, ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.

Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran seperti terisu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilhami bukunya?  Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’, melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. Mungkin tak separah Il Principe, tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berantai-rantai.

Dan bahagialah bakda pengingat, huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya amalmu sedikit, dosamu berbukit, tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kau tebarkan.” Tulisan shahih dan mushlih, jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilhami tanpa mengurangi si bersangkutan.

Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut di hadits riwayat Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluk pertama yang dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berkalam, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang harus kutulis Rabbi?” Kata Allah, “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluk-Ku.” Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam dan membuatnya unggul atas malaikat yang lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata (Surat al-Baqarah ayat 31)

Dan “Baca!”, adalah wahyu pertama. Bangsa Arab yang mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca. Sebab menulis-kata mereka-ialah alat bantu bagi hafalannya di bawah rata-rata tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.

Muhammad hadir bukan dengan mukjizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghujam, disebut ‘bacaan’. Maka Islam menjelma peradaban ilmiah dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita. Sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah dunia.

Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersisa, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? Saya mencermati setidaknya ada tiga kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.

Daya Ketuk
Daya ketuk ini paling beras dibahas; yang mericau ini pun masih jauh dan terus belajar (apalagi saya?) Ia masalah hati dan terkait niat dan keikhlasan. Pertama marilah jawab ini: (1) Mengapa saya harus menulis? (2) Mengapa harus ditulis? (3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?

Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis. Alasana kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, membakar, menekunkan. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk menyentuh menggerakkan. Tetapi, tak cukup hanya hati bergairah dan bersemangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.

Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut hanya kepada-Nya. Cinta kebenaran di atas segala. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertakwa ( Surat an-Nahl ayat 66). Maka untuk menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, kekayaan dan kemasyhuran, riya’ dan sum’ah.

Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan, dan perbuatan sang penulis menjadi bergizi, memberik arti mudah dicerna menjadi amal suci. Sebaliknya, penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah, lalu disajikan pada pembaca. Ya Rabbi ampuni bengkoknya niat di hati, ampunnya bocor syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagai.

Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan dua hal : a) pembaca muak, mual dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. Atau lebih oarah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita, tapi yang  tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian, agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketakwaan. Itulah daya ketuk sejati.

Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca, bukan didapat dari wudhu dan sholat yang dilakukan niat semata menoreh kata. Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Mahaperkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa lalu menulis itu sekedar satu dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan yang mengemuka.

Daya Isi
Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, lalu bingung harus berbuat apa. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf dan tergugah, tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.

Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar, “Fakidusy syai’, laa yu’thi; Yang tak punya tak akan memberi”. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi, membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.

Ia menyimak apa yang dikalamkan Tuhannya, mencerminkan mati yang memancar dari hidup Rasul-Nya, dan membawakan makna ke alam tinggalnya. Dia pahami ilmu tanpa mendikotomi, tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap nisbi; mencerahkan akal dan hati. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks, tapi disertai kepahaman latar belakang dan kedalaman tafsir. Dengan proses internalisasi, semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.

Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum lama dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas dipahami agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang kaidah shahih dan tertentu.

Dia hubungkan makna yang kaya, fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan sisi insaniyah. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri, tapi kian harus mencari. Ia bawakan pemaknaan penuh warna, beda bagi masing-masing pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.

Daya Memahamkan
Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkannya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. Sang penulis sejati juga memahami, banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”

Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat dan membuat penat saat dibaca. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah, dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa yang lebih adil, haus ilmu dan rendah hati.

Penulis sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu.” Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; beribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu. 

Inilah yang jadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan beribu kali berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. Lebih parahnya, keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti.

Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justri membuat mual. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita Rasul-Nya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tetapi dalam kalam-Nya, Dia menjelaskan. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat dudul dertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus dan tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli. Allah Mahatahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diri-Nya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb yang lebih dikenal.

Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu yang dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja. Itu pun tidak dalam rangka mengajari, tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambah data.

Penulis sejati juga tahu, yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya memahamkan berhulu di sini. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan dia pun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, dan penuh cinta.

Kita telah tahu, menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, amal shalih, dan saling menasihati. Jika ada amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu, maka kita tak boleh ragu, tinggalkan menulis tuk menujunya.

Disarikan dari buku Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah

PS : kata-kata 'firman' dalam tulisan ini saya ubah menjadi 'kalam'. Saya ingin mencoba membudayakan 'kalam' daripada 'firman'. Alasannya sila cek di postingan ini :)

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template