Friday 11 May 2012

Freak n Fun Friday…;D

Terlalu asyik jari-jariku menari di atas keyboard yang ditempeli font Arab, dengan mata fokus ke arah layar 10 inchi. Sampai-sampai para cacing di dalam perut yang sudah berdemo minta diberi makan pun terabaikan. Kebiasaan yang selalu sama dan sulit dihilangkan. Tidak heran rasanya kalau pesan ibu selalu sama setiap menelponku :”Nak….jangan telat makan ya!”
Jangankan telat makan bu,,terkadang malah aku lupa dengan yang namanya makan. Bukan maksud tidak mensyukuri nikmat dan memilih-milih makanan. Tapi makan bukanlah hobiku. Walau bagaimanapun makan tetap tidak boleh ditinggalkan karena itu adalah urusan dhoruriyat yang harus diutamakan seperti kaidah ushul fiqih. Ya…makan juga perintah Allah kepada hamba-Nya untuk menjaga nafs atau kehidupan. Dan ini juga merupakan dhoruriy.
Untungnya cacing-cacing di perutku mulai bertindak anarkis memukul-mukul dinding lambungku. Oke..aku menyerah dan memilih untuk makan. Lagipula aku sedang tidak ingin berteme dengan 'si maag’, mengingat banyaknya tugas dan deadline tulisan yang harus segera diselesaikan ditambah lagi setoran hapalan yang harus ditambah mengingat dalam hitungan hari UAT akan menyerang. Aku mencoba untuk bersahabat dengan lambungku. Dan sepertinya netbuk itemku sudah berteriak-teriak untuk diberi asupan listrik dan butuh istirahat. Baiklah…biarkan dia beristirahat sembari aku melayani lambungku.

Mie rebus pake telur sepertinya menu yang enak di siang hari yagn terik ini. Lumayan bahan-bahan masih ada, ditambah sedikit sayur sop dari asrama dapur nampaknya lezat. Dengan hati sumringah dan angan-angan mie rebus sayur pake telor di kepala, aku melangkah dengan jumawa ke dapur. Namun, seketika harapab-harapan mie rebus sayur pake telor mulai menipis. Remuk redam hati ini melihat wajan di atas kompor penuh dengan adonan tepung basah yang mulai mengering. Sepertinya ada yang baru membuat semacam bubur tepung, tapi lupa-atau mungkin sengaja- tidak mencucinya. Cacing-cacing di perutku bertindak lebih anarkis lagi. Kali ini bukan hanya memukul, meninju, atau menendang dinding lambungku. Sepertinya ada yang baru saja meledakkan bom molotov. Aaah…aku benci hal seperti ini, karena biasanya logika mulai eror di saat kekurangan logistik. Sayang aku mencoba untuk meredam tapi si emosi mulai menyelip masuk ke dalam ragaku. Sabaaar…kumohon datanglah kepadaku. Sabaaaar…aku sedang membutuhkanmu saat ini untuk mengusir si emosi. Untung si emosi belum menguasai jiwaku. Mungkin karena istighfar yang aku ucapkan. Baiklah biar aku cuci noda membandel di wajan itu. Toh hidup ini penuh perjuangan, biar lah aku berjuang untuk bisa makan.
Sedang asyik memasak mie, suara gerbang depan terbuka. Siapakah gerangan yang rela berjalan di siang hari yang terik seperti ini. Aku rasa kebanyakan orang memilih untuk bersantai di rumah sambil rebahan di atas lantai yang dingin atau menikmati sejuknya AC (angin cendela) yang sepoi-sepoi. Bayangan seorang ummahat bercadar tampak dari kaca jendela tepat di depan posisiku memasak. Gayanya yang khas membuatku mengenali ummahat yang ramah, pandai dan berwibawa itu. “Assalamu’alaikum kak Rahma….masak apa?”, sapa beliau.
Ternyata beliau tidak datang sendiri, ada dua peri cantik dan seorang jundi manis yang menyertai beliau. Alhamdulillah…emosiku mulai kabur melihat anak-anak manis itu. Entah kenapa aku selalu senang melihat anak kecil. Hati yang suntuk hilang perlahan begitu melihat anak-anak kecil berceloteh. Rasanya nyaman berada di sekitar dunia anak kecil yang penuh kepolosan dan kejujuran. Tidak ada kebohongan, ataupun sikap culas. Tidak ada penjilat bermulut manis. Yang  ada hanyalah ucapan-ucapan ceplosa yang polos.
Aku kagum dengan ummahat yang satu ini. Beliau memilih berkarir di perusahaan dengan gaji termahal di dunia. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga tulen yang gajinya di bayar dengan cinta. Aku salut dengan ibu-ibu seperti ini, yang lebih mementingkan memperhatikan kondisi anaknya daripada sibuk meniti karir di luar rumah sementara anak-anaknya diurus pembantu. Bukan berarti ibu-ibu yang bekerja di luar rumah tidak mengurus anaknya dan menelantarkannya begitu saja. Hanya saja kali ini aku baru memahami bahwa sejatinya pekerjaan termahal bagi seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga, yang bisa sukses mendidik anak-anaknya dan memanaje segala urusan rumah tangganya. Disamping itu aku juga merasakan bagaimana rasanya harus bermain bersama pembantu di saat ibu pergi mengajar. Walau bagaimanapun aku tidak menyesal mempunyai ibu seperti ibuku. Ibuku tetaplah orang terhebat, terbaik, dan tersuper di dunia ini.:DD
Kebetulan ummahat tadi membawa makan siang dan berniat untuk mengajak anak-anaknya main ke asrama kami. Hitung-hitung cari suasana baru makan di luar. Untungnya aku juga belum makan, jadilah aku ikut bergabung dengan keluarga kecil minus 2 personil itu. Setelah makan anak tertuanya Mas Firdaus yang saat ini berusia 5 tahun mengajak adik perempuannya yang berumur 3 tahun berkeliling asrama. Hisan, si adik, mengajak kakaknya untuk lomba lari. Tapi sayang, dia yang mengajak tapi dia harus kalah dalam perlombaan itu. Dia menangis karena dia kalah dan melapor pada uminya.
“Umi…Mas Firdaus nakal, aku ditinggal", rengek Hisan.
“Nggak koq..aku nggak ninggalin dek Hisan,” Firdaus mencoba membela diri.
“Iyaa…tadi Mas Firdaus nakal ninggalin aku lari duluan balik ke sininya,” rengek Hisan lagi sambil memukul-mukul kakaknya.
“Sini…sini Mba Hisan…tuh kan Mas Firdaus, tadi katanya  mau main, koq ke sini malah gangguin adeknya sih,” ucap sang umi
“Emang tadi gimana ceritanya koq Mas Firdaus ninggalin dek Hisan?”, tanya sang umi.
Dengan suara setengah merengek Hisan mencoba menceritakan kronologi kejadian pertengkaran kecil itu. “Tadi kan kita lomba lari….”
“Tadi kan Hisan yang ngajakin balapan lari. Tapi koq malah dia yang nangis. Padahal kan dia yang minta”, potong Firdaus.
“Ooo…jadi gitu. Terus tadi siapa yang menang Mbak Hisan?” tanya umi.
“Mas Firdaus…” masih setengah merengek.
“Wajar dong kalau Mas Firdaus yang menang. Kan Mas Firdaus kakinya lebih panjang dari Mbak Hisan. Jadi wajar dong kalau Mas Firdaus yang menang. Coba deh Mbak Hisan sama Mas Firdaus kakinya diselonjorin. Panjangan kaki siapa coba?”, jelas sang Umi sambil tersenyum.
Lalu mereka pun menyelonjorkan kakinya. Firdaus dengan sigap langsung menyelonjorkan kedua kakinya. Sementara itu adinknya masih mencoba menceran penjelasan uminya dan masih belum menerima dia kalah dari kakaknya. Akhirnya umminya pun menyelonjorkan kaki Hisan. Kemudian secara spontan dan sangaaaaaaat polos Hisan berkata :”Iyaa..ya Mi. Kakinya Mas Firdaus lebih panjang dari kakiku.” ucap Hisan sumringah.
“Waah…Umi..kakiku panjang ya…!” ucap Firdaus mengakui.
Kemudian Ummu Firdaus menyelonjorkan anak bungsunya Abida, 1 tahun, yang duduk di sebelah Hisan. “Tuh…kakinya Mbak Hisan lebih panjang kan dari dek Abida?”
“Wah..iya Mi..kakiku lebih panjang dari dek Abida”, ucap Hisan sumringah.
“Tapi kakiku yang paling panjang”, ucapa Firdaus dengan gumawa.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka yang polos dan apa adanya. Si emosi pun meluap dengan seketika mendengar Firdaus dan Hisan yang terus  berceloteh.
_Dormitory Putih Ds. Pakel_

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template