www.szlihin.com |
A : Ssst…bukan muhrim nggak boleh jalan berdua!
B : Muhrim? Emang siapa yang haji?
A : Enggak ada yang haji. Ini kan bulan muharam.
B : Lha tadi bilang muhrim?
A : Muhrim itu kan perempuan sama laki-laki yang nggak boleh nikah.
B : #@$%&#(!^*?
Yap…seringkali kita salah mengartikan mahram dengan muhrim. Padahal arti keduanya berbeda jauh. Muhrim adalah orang yang sedang berihram dalam haji ataupun umrah. Adapun Mahram adalah lawan jenis yang haram dinikahi selamanya dan kita diperbolehkan berpergian maupun berjabat tangan dengan mereka. Ada sebuah potongan hadits dalam kitab Shahih Bukhari, Bab Hajju an-Nisaa’ :
لَا تُسافر الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ مِنْهَا
“Tidak berpergian (safar) seorang perumpuan kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1862)
Dan yang dimaksud dengan zhu mahram dalam kalimat di atas adalah siapapun yang tidak diperbolehkan untuk menikahinya dari kerabat (keluarga), seperti bapak, anak laki-laki, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, paman dan yang terpaut dengannya.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan bahwa mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya dengan sebab nasab, persusuan, dan pernikahan. Sedangkan Sheikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan dalam Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bi al-Mu’minat mengatakan mahram bagi kaum wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, seperti bapak, anak dan saudaranya atau dari sebab-sebab mubah lainnya seperti sepersusuan, ayah ataupun anak tirinya.
Mahram bagi wanita adalah kebalikan dari mahram bagi laki-laki yang Allah jabarkan dalam surat an-Nisaa’ ayat 23. Seorang perempuan diperbolehkan untuk menyentuh mahramnya, memandang mahramnya tanpa syahwat dan berkhalwat (berduaan). Seorang wanita juga diperbolehkan untuk menampakkan wajahnya, rambutnya, dagunya, telapak tangan hingga siku, dan kaki hingga lutut.
Mahram terbagi menjadi dua, mahram muabbad dan mahram muaqqot. Mahram muabbad adalah mahram yang tidak boleh dinikahi selamanya. Adapun mahram muaqqot adalah mahram yang tidak boleh dinikahi hanya pada kondisi tertentu saja, dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal untuk dinikahi, misal karena perceraian, kematian atau habisnya masa ‘iddah.
Mahram muabbad terbagi menjadi tiga, mahram karena nasab, mahram karena sepersusuan dan mahram karena pernikahan.
1) Mahram karena nasab
Mahram karena nasab adalah mahram karena keturunan. Hal ini Allah terangkan dalam surat an-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman : ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka atau putri-putri suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka”
Mahram bagi wanita berdasarkan nasab adalah sebagai berikut:
1. Ayah
Ayah atau bapak jelas adalah mahram kita. Yang termasuk dalam kategori ayah adalah ayah dari bapak maupun dari ibu (kakek) hingga ke atas. Seperti ayahnya kakek (kakek moyang), kakaknya kakek, adiknya kakek, kakeknya kakek dan semua bapak-bapak mereka ke atas.
2. Anak laki-laki
Anak laki-laki juga temasuk mahram kita. Anak-anak dari anak laki-laki kita (cucu) serta anak laki-laki cucu (cicit) dan keturunan kebawahnya termasuk mahram kita juga. Dan yang dimaksud di sini adalah anak laki-laki kandung bukan anak asuh (atau lebih dikenal dengan anak angkat).
3. Saudara laki-laki
Saudara laki-laki sekandung, sebapak maupun seibu.
4. Anak laki-laki saudara kandung
Anak laki-laki saudara kandung (keponakan) masih termasuk mahram kita.
5. Paman
Paman di sini bisa adik ayah atau ibu maupun kakak ayah atau ibu. Dalam surat an-Nuur ayat 31 memang tidak disebutkan bahwa paman termasuk mahram. Syeikh Abdul Karim Zaidan rahimahullah mengatakan bahwa kedudukan paman sama kedudukannya dengan kedua orang tua, bahkan tak jarang disamakan kedudukannya dengan bapak. Allah berkalam :
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133)
“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Dan Nabi Ismail ‘alaihissalam adalah paman bagi anak-anak nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa pamah termasuk mahram.[1]
Selain itu bibi (adik perempuan ayah atau ibu) termasuk mahram bagi seorang laki-laki sebagaimana Allah sebutkan dalam surat an-Nisaa’ ayat 23. Berarti paman juga termasuk mahram bagi seorang perempuan.
2) Mahram karena sepersusuan
Mahram sepersusuan ini terjadi karena sebab susuan seorang ibu yang sama meski bisa jadi bukan saudara kandung. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ لِي، يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ، هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ
Dia tidak halal bagiku, diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari nasab, (HR. Bukhari no. 2645)
Maksudnya adalah mahram perempuan berdasarkan nasab sama dengan mahram perempuan berdasarkan susuan.
Mahram sepersusuan juga Allah sebutkan dalam surat an-Nisaa’ ayat 23 :
...وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ...
“juga ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”
Dan untuk menjadi mahram sepersusuan terdapat syarat-syarat tertentu. Persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah penyususan yang dilakukan pada masa kecil (sebelum melewati usia 2 tahun) dan lima kali persusuan. Ini adalah pendapat rajih di antara seluruh pendapat para ulama.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ، بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu dalam Al-Qur’an susuan yang dapat mengharamkan ialah sepuluh kali susuan, kemudian dinaskh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat dan ayat-ayat Al-Qur’an masih tetap dibaca seperti itu. (HR. Muslim no. 1452 berderajat Shohih)
Adapun cara menyusunya, jumhur ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya susu ke dalam perut bayi. Baik menyusu langsung ke perempuan tersebut maupun ditaruh di gelas, atau tempat lain baru kemudian diminum oleh si bayi. Ulama berbeda pendapat tentang usia
Dan yang termasuk mahram yang disebabkan karena persusuan adalah :
a. Bapak Persusuan
Yang dimaksud dengan bapak persusuan di sini adalah suami dari ibu yang menyusui. Sama seperti mahram berdasarkan nasab, bapak dari bapak atau ibu persusuan juga termasuk mahram. Begitupun dengan bapaknya kakek ke atas.
b. Anak laki-laki dari ibu susu
Yang termasuk anak laki-laki dari ibu susu ini adalah cucu dari anak laki-laki ibu persusuan.
c. Saudara laki-laki persusuan
d. Keponakan persusuan
Maksudnya adalah anak laki-laki dari saudara sesusu laki-laki.
e. Paman persusuan
Sama seperti paman berdasarkan nasab. Yang dimaksud paman persusuan di sini adalah saudara laki-laki dari bapak atau ibu susu.
3) Mahram karena Mushaharah
Yang dimaksud dengan mahram mushaharah adalah mahram yang terjadi karena pernikahan. Dan mahram wanita yang disebabkan mushaharah adalah orang-orang yang haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya., seperti ibu tiri, menantu dan mertua.[2]
Allah berkalam dalam surat an-Nisaa’ ayat 22 :
...وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ...
“...dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmi (ibu tirimu)...”
Ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ... وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ....
“Diharamkan atas kamu (menikahi)......ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); ...”
an-Nuur ayat 31 :
...وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِن....
“...Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka ...”
Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa yang termasuk mahram mushaharah adalah :
a. Suami
b. Ayah mertua
c. Anak tiri
Anak laki-laki suami dari istri lain.
d. Ayah tiri
Suami dari ibu tetapi bukan bapak kandungnya.
e. Menantu laki-laki
Suami dari putra kandung.
Itulah beberapa golongan yang termasuk mahram bagi perempuan. Anggota keluarga atau kerabat selain yang disebutkan di atas berarti bukan mahram kita dan kita tidak boleh menampakkan aurat maupun berkhalwat dengan mereka. Berarti ayah angkat, saudara sepupu maupun saudara ipar bukan termasuk mahram kita. Dan kita harus menutup aurat kita di depan mereka.
Wallahu ta’ala a’lam
Sumber :
- Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bi al-Mu’minat, Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan
- al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi asy-Syariah al-Islamiyah, Dr. Abdul Karim Zaidan
- al-Mughni, Ibnu Qudamah
[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi asy-Syariah al-Islamiyah, (Beirut : 1993) h. 159
[2] Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi asy-Syariah al-Islamiyah, (Beirut : 1993) h. 162. Beliau merujuk dari Syarh al-Muntaha miliki al-Han bali jilid 3 h.7
0 comments:
Post a Comment