Friday 29 March 2013

Sebuah Janji


Ketika Imam ath-Thabari ingin menulis kitab tarikh, beliau berkata kepada muridnya : “Maukah kalian menulis kitab tarikh dari zaman Nabi Adam hingga zaman kita saat ini?” Kemudian muridnya berkata : “Berapa banyak?” Imam ath-Thabari menjawab : “Tiga puluh ribu lembar!” Kemudian muridnya menjawab : “Ini tidak mungkin selesai walaupun kita sudah meninggal.” Lalu Imam ath-Thabari berkata : “Innalillahi, matatil himam! (sudah tidak ada tekad).” Kemudian beliau meringkasnya menjadi 3.000 lembar.

Ketika Syeikh Hisyam menawarkan saya dan teman saya untuk mengetikkan tulisan beliau untuk muqarar mata kuliah Asbabun Nuzul, saya teringat dengan kisah Imam ath-Thabari ini. Bedanya kitab yang beliau tawarkan ke muridnya setebal 3000 lembar. Kalau kitab yang saya dan teman saya ketik cuma 30 lembar.  Bedanya 100 kali lipat.

Dan ternyata itu bukan hal yang mudah, disamping harus beradaptasi dengan keyboard yang tidak ada tulisan arabnya, juga khat Riq’i Syeikh Hisyam –barakallahu fii kulli umuurihi- yang belum terlalu bisa saya baca. Kata orang khat riq’i itu biasa digunakan oleh orang-orang pintar. Mungkin tulisannya seperti tulisan dokter dalam bahasa Arab. Mafhum kalau teman saya mengatakan bahwa khat ini adalah tulisan orang-orang pintar, tulisannya simpel dan nggak ribet. Tapi tetep, saya masih belum bisa menggunakan khat riq’i walaupun telah mencoba latihan berkali-kali untuk bisa menggunakan khat riq’i. Ujung-ujungnya malah bukan mirip khat riq’i, tapi malah tulisan ceker ayam.

“Wah kita yang cuma ngetik ulang tulisan beliau aja kewalahan”, celetuk lidah tak bertulang. Enaknya diajar sama ulama, muqarar mata kuliahnya dibuat sendiri. Terus kalau ada kitab langsung di syarh sendiri sama beliau.

Dari sinilah janji itu dimulai. Berkali-kali kami bertemu Syeikh Hisyam untuk memastikan apakah tulisan yang kami ketik sesuai dengan yang beliau tulis. Tapi tetap saja masih belum bisa adaptasi dengan tulisan Syeikh. Kadang kurang titik, kelebihan alif, yang harusnya makrifat jadi nakirah, atau bahkan sebaliknya.
“Maukah kalian ke Mesir bersamaku?”, tanya beliau suatu sore.

Kami hanya bisa tersenyum cengengesan dengan tawaran beliau. Ah… Murabbi yang satu ini memang selalu bisa melambungkan hati kami dalam setiap ucapannya. Kata bude, ini memang tipe orang Mesir. “Pon… kamu baru ketemu satu orang Mesir. Coba kamu di sini, tiap detik kamu bakal dilambungin sama orang-orang Mesir.”

“Wallahi… saya ingin kalian berdua ikut dengan saya ke Mesir. Saya ingin kalian bertemu dengan Aliya, Maryam, juga Syiham”, lanjut beliau.
“Natamanna yaa Syaikhi…”, jawab teman saya.
“Shohih… kalian benar akan ikut ke Mesir dengan saya?”, dengan nada senang terkejut.
“Iya.. insya Allah.. tapi nggak sekarang Syeikh.”
“Pokoknya saya mau kalian datang ke Mesir”, ucap beliau dengan senyum mengembang.

Di hari berikutnya, seuasai mata kuliah Asbabun Nuzul, beliau memanggil kami berdua. Dan lagi-lagi beliau memberi tawaran yang sama. Mengunjungi Mesir. Yah… siapa tidak ingin menimba ilmu di negeri para Nabi ini? Di sebuah universitas tertua, Al-Azhar university. Bahkan mendengar namanya pun bulu kuduk merinding. Mengingat membutuhkan perjuangan besar menimba ilmu di sana. Dan lagi-lagi jawaban kami sama, “Insya Allah… biidznillah kami akan pergi ke Mesir.”

“Oke… ini adalah janji antara saya dengan kalian. Janji sampai hari kiamat”, ucap beliau dengan senyum yang selalu meneduhkan.

Serem… serem banget denger kata yang satu itu. Janji. Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Allahumma laa taj’alna minhum..Aamiin. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir. Allah berkalam “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”(An-Nahl: 91). Juga “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Jleeeebbb. Ketika browsing liat-liat harga tiket, untuk ke Mesir itu biayanya 9,8 juta-an dengan pesawat Emirates. Nelen ludah. Masuk ke Jamiah Azhar untuk penerjun bebas tidak mudah, karena harus menyiapkan budget yang tidak sedikit. Yang lebih aman adalah mengikuti tes dari depag. Tapi ini dibatasi usia.  

Kemudian yang paling memilukan adalah sebelum pertemuan beliau sebelum kembali ke Mesir.

“Syeikh, sampaikan salam saya untuk Aliya, Maryam dan Sayyidah Syiham,” ucap saya.
“Tidak. Saya tidak mau. Kamu harus menyampaikan sendiri ke mereka dengan datang ke Mesir,” ucap beliau. Jleeebbb lagi.
“Pokoknya saya menunggu kalian datang ke Mesir. Bulan Juni ya kalian ke Mesir”, entah permintaan, penawaran atau pertanyaan.
Lemes. Kaki seakan tak berpijak (serem banget dah). Tenggorokan kering. Perut keroncongan. #salah fokus.
“Mari berdo’a semoga Allah memudahkan kita untuk memenuhi janji kita dengan Syeikh Hisyam. Mumpung antara adzan dan iqomah nih,” ucap temen saya.
“Aamiin….”

Semoga Allah memberi kemudahan kami untuk memenuhi janji ini. Aamiin. Dan janji itu masih terpatri dalam sanubari. Tertulis rapi di sebuah diari. Tertempel di lemari juga terselip dalam ribuan goresan mimpi. Serta tertulis bersama deretan postingan lain dalam blog ini. Di tengah hujan deras, di hari Jum'at. Sudi kiranya yang membaca postingan ini turut mendoakan janji ini. Atau mungkin bagi Anda yang tengah berada di masjid nabawi? ;) 

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template