“Rahma mau nggak ngisi ta’lim di daerah X. Ibu-ibu di sana minta tahsin sama bahasa arab. Dikasih materi fiqih atau aqidah juga nggak papa”, tawar Ummu Firdaus suatu hari.
“Afwan ustadzah...Rahma masih belum siap”, jawabku sambil nyengir kuda.
Jawaban yang selalu sama dari semester awal saya kuliah hingga saat ini memasuki semester 7. Yaah...ummat saya masih belum siap. Ilmuku masih sedikit. Itupun hanya sebatas teori yang tertulis dalam catatan-catatan kuliahku. Belum lagi ummat di sekitarku sudah terlalu pandai. Saya merasa masih belum pantas untuk berbicara di depan mereka.
Tapi semakin bertambahnya ilmu yang saya pelajari, saya merasa beban yang saya pikul semakin berat. Yaah itu adalah beban. Karena itu berarti ada hal baru yang harus saya sampaikan kepada orang lain. Apalagi ilmu yang saya pelajari adalah ilmu agama. Dan ini terasa lebih berat lagi. Sangat berat. Di samping saya harus mengamalkan ilmu yang saya dapatkan, saya juga harus mentransfer ilmu itu kepada orang lain yang belum tau. Dan beban ini tidak akan berkurang kalau saya tidak mentransfer ilmu itu.
Ilmu yang aku pelajari, tentu ada beberapa. Saya tahu sedikit ilmu aqidah seperti apa itu ahlussunnah wal jama’ah apa itu tauhid rububiyah, uluhiyyah, atau tauhid asma’ wa sifat. Saya juga tahu sedikit-sedikit ilmu fiqih, seperti hukum-hukum haid, nifas atau istihadhah. Saya juga tahu sedikit ilmu hadist, tafsir, ‘ulumul qur’an, fiqh siyasah, ataupun tahsin dan sedikit ilmu lainnya. (Mungkin kalau saya nggak kuliah di bidang agama, saya juga nggak bakal tahu ilmu-ilmu itu...;D)Banyak pula masayikh dari Timur Tengah datang silih berganti ke kampus membagi berbagai macam ilmu yang beliau-beliau miliki. Dan banyak hal lainnya yang sudah saya pelajari. Tapi keberanian itu masih belum muncul.
“Apakah ummat butuh saya?”, sering pertanyaan ini terlitas dalam benak saya. Banyak ummahat yang sudah pandai tahsin dan paham betul ilmu aqidah, fiqih wanita, atau bahasa arab (dan itu cukup besar untuk mengecilkan nyali).
Sayangnya kacamata saya hanya melihat ummahat yang jam terbang ta’limnya super tinggi. Saya belum terlalu melek sama masyarakat di sekitar kampus saya yang masih gagap mengeja al-Qur’an. Mereka juga begitu dekat dengan kristenisasi. Musuh mereka justru dengan tetangga atau keluarga mereka sendiri. Padahal merekalah yang sering bertegur sapa dengan saya. Mereka juga yang terkadang membantu saya ketika saya kesusahan.
Apa yang sudah saya lakukan untuk mereka? Minat mereka tinggi sekali untuk bisa lancar membaca al-Qur’an. Tapi, tidak ada orang –tepatnya belum ada- yang siap mengajari mereka dengan sabar. Orang ikhlas yang siap mengajari mereka yang masih terbata-bata membaca surat an-Naas.
Gimana sama kamu Rahma? Kamu baca al-Qur’an lebih lancar dibanding mereka. Kamu juga udah belajar sedikit-sedikit ilmu tahsin. Kamu juga udah apal beberapa juz dalam al-Qur’an. Bandingkan dengan mereka yang masih belum bisa membedakan hirif Ha atau Kha. Tapi mereka memiliki himmah yang tinggi untuk bisa membaca al-Qur’an dengan lancar. Mereka juga bermimpi untuk bisa menghapal beberapa surat dalam al-Qur’an Apa kontribusi pada mereka yang juga ummat Islam kaya kamu?
Melihat realita, saya sekarang tahu jawaban dari pertanyaan “Apakah ummat butuh saya?”. Yang ummat butuhkan bukanlah diri saya, tapi beberapa ilmu yang saya miliki. Yah...mereka butuh ilmu yang kamu bilang sedikit itu Rahma. Ilmu yang kamu pelajari emang baru sedikit, tapi bagi mereka itu udah banyak banget. Masih mau bilang belum siap, terus kapan kamu siapnya? Nunggu lulus S1 dulu? Nunggu lulus S2? Atau nunggu jadi profesor dulu baru siap?
Makin lama saya makin paham kalau ilmu itu tidak akan bertambah kalau nggak disampaikan dan diamalkan. Dan itu ternyata benar adanya. Ternyata banyak banget manfaat yang kamu dapet kalau ilmu yang didapet dishare ke orang lain yang belum tahu. Selain beban kamu berkurang, ilmu kamu bertambah, ternyata ilmu itu juga bisa jadi tabungan pahala di akhirat nanti.
-Sebuah renungan di akhir Ramadhan-
0 comments:
Post a Comment