Sunday 23 October 2011

Islamic Journalistic

Pesatnya arus informasi membuat dunia jurnalistik semakin terasa penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Apalagi jurnaslitik bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga kita. Sebenarnya apa sih jurnalistik itu?
Kalau kata Mas Boim Lebon jurnalistik itu adalah ada orang yang juJUR, ngajak keNAlan, terus dituLIS, dan dikeTIK jadi deh JURNALISTIK. Kalau menurut Ibu Santi Soekanto, wartawan senior pemimpin redaksi majalah AULIA yang dulunya ALIA dan wartawan Brunei Times, jurnalistik adalah ilmu yang merupakan alat untuk menyampaikan amanah. Sedangkan menurut F.Fraser Bond dalam bukunya “An Introduction to Journalism” jurnalistik adalahsegala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. Lalu, bagaimana menurut Anda?
Jurnalistik berasal dari kata journalistic yang diambil dari kata journal atau dujour dalam bahasa Prancisnya yang memiliki arti catatan atau berita harian. Di mana segala berita pada hari itu termuat dalam lembaran (kertas) yang tercetak. Dari segi kegiatan jurnalistik sering disamakan dengan istilah pers, karena berita itu dicetak menggunakan mesin yang bernama press di atas kertas. Fungsi jurnalistik adalah sebagai pengelolaan ‘catatan’ harian yang menarik minat banyak orang, misalnya peliputan tentang dunia olahraga, ekonomi, politik, bahkan hingga aktifitas kriminal yang memang perlu disebar-luaskan kepada banyak orang. Dengan maksud agar orang-orang mengetahui dan bisa mengambil manfaat dari informasi tersebut.




Sejarah Jurnalistik
Untuk pertama kalinya secara akademis, jurnalistik muncul di Universitas Bazel Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde. Sang pionir Karl Bucher (1847-1930) dan Max Weber (1864-1920) berhasil membuat generalisasi yang sangat signifikan dalam pengembangan teori dan praktek jurnalistik.
Pada tahun 1925, perkembangan jurnalistik memasuki fase kedua. Pada fase ini peningkatan kualitas jurnalistik sebagai suatu ilmu semakin dipengaruhi dan dikaji oleh banyak sarjana. Lalu pada tahun 1928, telah tercatat sebanyak 500 disertasi tentang jurnalistik. Kemudian nama Zeitungskunde berubah menjadi Zeitungswissenchaft yang memiliki arti “ilmu persuratkabaran”.
Jurnalistik Dalam Islam
Dalam Islam, dunia jurnalistik dan pers bukanlah hal yang baru. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memanfaatkan risalah sebagai media komunikasi. Walaupun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang ‘ummi (buta huruf), surat menyurat bisa tetap terlaksana berkat bantuan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pandai menulis. Dakwah dengan menggunakan tulisan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa landasan jurnalistik telah digagas oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan kondisi dan kemajuan umat Islam pada saat itu.
Zaman sekarang banyak wartawan-wartawan hebat yang pandai meng-cover berita atau kejadian, lalu menuliskannya lewat surat kabar. Namun, sesungguhnya pekerjaan sebagai wartawan telah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat telah memberitakan tentang pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik perkataan atau perbuatan beliau yang kemudian dijadikan sebagai Hadits. Merekalah wartawan terbaik sepanjang masa, karena berkat merekalah risalah Islam bisa tersebar dengan luas.
Al-Qur’an sebagai sumber sejarah paling otentik dan valid sepanjang zaman ternyata memiliki fungsi dan peran jurnaslitik yang cukup tinggi. Buktinya, di dalam Al-qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung unsur jurnalistik. Misalnya dalam surat An-Naba’ ayat 2 :
عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2)
Tentang berita yang besar.
Dan surat Al-Kahfi ayat 56 :

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوا آَيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا (56)
Dan tidaklah kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.
Serta masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki unsur-unsur jurnalistik, seperti surat Ali Imran ayat 44, An-Nisa’ ayat 83 dan 165, Al-Maidah ayat 19, 42 , dan 41, At-Taubah ayat 70, dan 33 surat lainnya dalam Al-Qur’an yang memuat tentang ayat-ayat yang memiliki unsur dan bermakna jurnalistik.[1]
Jurnalistik Islami
Jurnalistik sebagai salah satu media penyampaian berita dapat berperan sebagai sarana komunikasi massa dan berdakwah. Sebenarnya tidak ada jurnalistik Islam, yang ada adalah jurnalistik Islami. Maksud dari jurnalistik Islami sendiri adalah apabila seorang jurnalis menerapkan kode etik dan kaidah pemberitaan berdasarkan sifat-sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut Ibu Santi Soekanto untuk menjadi seorang jurnalis yang Islami, seorang jurnalis harus meluruskan niat terlebih dahulu. “Seorang wartawan nulis nggak lillahi ta’ala yah non-sense. Tulisannya nggak ada artinya!”, ungkap Bu Santi.
Selain itu, wartawan juga harus mengikuti kredo Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyampaikan informasi atau berita. Seorang wartawan Islami harus mengikuti sifat-sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Shidiq atau jujur dalam menyampaikan berita, tidak mengada-ada dan berita yang disampaikan adalah benar. Berita atau informasi yang disampaikan terpercaya dan wartawannya pun Amanah dalam menyampaikan berita. Selain itu, wartawan juga harus bersikap Tabligh, menyampaikan berita yang telah didapat dan tidak menyimpannya sendiri. Wartawan juga harus bersifat Fathanah atau cerdas, sehingga dapat meng-cover berita maupun informasi yang disampaikan.
Menurut Dr. Adian Husaini, bagi seorang wartawan Muslim berita bukan sekedar berita. Berita tidaklah netral dari sebuah nilai. Wartawan Muslim yakin benar bahwa apa yang ditulisnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Karena itu, merekayasa berita bohong adalah sebuah dosa. Seorang Muslim harus berusaha konsisten dengan janji keislamannya bahwa ajaran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia. Saat mau tidur, bangun tidur, mau makan, mandi, belajar, berdagang, berpolitik, termasuk saat terjun dalam dunia jurnalistik pun ada ajaran Islam yang mengatur.
Banyak wartawan yang menganut asas kebebasan berekspresi dan mengungkapkan pendapat untuk menyampaikan pesan jurnalistiknya kepada pembaca. Akan tetapi dalam Islam, kebebasan tersebut dibatasi. Dalam pandangan Islam setiap Muslim adalah pengemban dakwah penyeru misi kenabian, dan pelanjut amanah risalah kenabian. Oleh karena itu seorang wartawan Muslim pun tetap berkewajiban menegakkan misi kenabian, di mana saja.
Dr. Adian Husaini dalam bukunya “Muslimlah Daripada Liberal” menegaskan bahwa dengan menjalankan misi kenabian, seorang wartawan bisa menjadi wartawan profesional. Beliau berpendapat bahwa setiap wartawan pasti memiliki ideologis. Wartawan Islam memiliki ideologi Islam, wartawan yang ‘netral agama’ pun memiliki ideologi ‘netral agama’ alias sekuler. So, buat antum yang punya cita-cita menjadi wartawan, jadilah wartawan yang mengikuti kredo Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam bishowwab.

[1] Amilia Indriyanti, Belajar Jurnalistik dari Nilai-nilai Al-qur’an, (Sukoharjo:Samudera, 2006)

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template