Saat orang lain bergemul dengan selimut di tengah udara dinginnya shubuh Tawangmangu, ada seorang nenek yang sudah siap untuk mengais rejeki. Bubur beserta sayuran pelengkap dan gorengan beliau masukkan ke dalam pancinya masing-masing. Sang kakek –suami nenek- membantu menata bubur dan tetek bengeknya di teras rumah, tempat berjualan bubur. Dengan senyum mengembang dan lantunan basmallah, nenek itu mulai menunggui dagangannya.
“Assalamu’alaikum, mbah buburnya satu, tidak usah pakai sambel tumpang ya mbah”, ucap seorang santri yang menjadi pelanggan pertama si nenek. Tak berapa lama kemudian muncul lagi kawanan santri berjubah putih memesan bubur. Waah…waah…waaah…waktu masih menunjukkan pukul 05.00, tapi para santri ini sudah terlihat kelaparan. Maklum mungkin karena otaknya dipakai untuk menghafal kalam Illahi jadi membuat perut lapar.
“Mesen nopo mas?”, tanya si nenek. “Bubur pakai terik aja makan sini ya mbah.”
“Saya lengkap mbah semuanya, makan sini ya.”
“Saya makan sini mbah, buburnya 2 ribu mbah jangan pakai pecel.”
“Kalau saya jangan pakai terik mbah. Sambel tumpang sama pecel, makan sini juga mbah.”
“Saya juga mbah makan sini, terik sama sambel tumpang aja.”
“Saya gorengannya seribu mbah, buburnya lengkap. Makan sini mbah.”
“Saya buburnya dikit aja mbah pakai terik aja.”
Begitulah suasana shubuh di teras rumah nenek penjual bubur tiap harinya. Biasanya pukul 06.00 dagangan beliau sudah mulai bersih. Apalagi di akhir pekan, pukul 05.45 buburnya sudah tidak tersisa lagi. Bubur dagangan sang nenek sangatlah dikagumi. Tak heran banyak orang yang bela-belain diri datang pagi-pagi ke rumah nenek untuk mendapatkan bubur. Maklum bubur jualan si nenek memiliki rasa yang khas apalagi dipadukan dengan pecel, sambal tumpang, dan sayur terik. Belum lagi bungkusannya yang khas menggunakan daun pisang. Disamping harganya yang sangat murah meriah. Hanya dengan 1000 rupiah perut langsung kenyang.
Nenek penjual bubur tidak hanya mencari keuntungan semata. Walaupub beliau membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beliau tidak sungkan menambahkan bubur atau gorengan kepada pembelinya. Beliau tidak takut rugi. Justru menurut beliau, beliau tambah untung. Beliau tidak segan-segan membantu orang lain walaupun beliau sendiri membutuhkan bantuan orang lain.
Suatu hari ada dua orang perempuan datang membeli bubur. Mereka datang cukup siang pukul 05.40. Bubur dagangan si nenek masih tersisa untuk 5 bungkus. Salah seorang perempuan tadi terlihat takjub dengan cara nenek penjual bubur membungkusnya. Dengan cekatan nenek penjual bubur membungkus bubur pesanan gadis muda tadi. Perempuan itu terus memandangi nenek penjual bubur tanpa berkedip. Sepertinya baru kali ini perempuan itu melihat cara berjualan nenek penjual bubur itu. Daun pisang yang digunakan untuk membungkus pesanan mereka tinggal daun yang kecil-kecil. Nenek penjual bubur mohon diri untuk mengambil daun pisang tambahan seraya berucap “Sebentar ya mbak, saya ambil dulu daun pisangnya. Ini yang ada tinggal kecil-kecil.”
Beberapa saat kemudian nenek penjual bubur datang sambil berujar dengan bahasa jawanya yang halus, “Mbak maaf ya, daun pisangnya kecil-kecil semua.”
“Enggeh mbah, mboten nopo-nopo,” ujar perempuan satunya dengan bahasa kromo inggil.
“Mbah yang satunya dikit aja ya buburnya,” ujar perempuan yang datang bersamanya.
“Kalau begitu, mbak ambil gorengannya satu kalau buburnya dikurangi,” jawab nenek penjual bubur.
Beliau benar-benar tidak mau mengecewakan pelanggannya dan selalu melayani pelanggannya dengan ramah tamah. Yang beliau cari bukanlah keuntungan tapi keridhoaan dari Allah atas ikhtiarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Wallahu a’lam bishowab
0 comments:
Post a Comment