Padahal kamu sudah berjanji tidak akan kembali lagi. Eh...kamu malah balik lagi.“
Lalu si pencuri berkata : “Lepaskanlah aku. Nanti kamu akan aku ajari beberapa kalimat yang Allah memberikan manfaat pada kalimat-kalimat itu.“
“Kalimat apakah itu?“, tanya Abu Hurairah.
“Jika dirimu hendak tidur, bacalah ayat kursi. Karena Allah akan menjagamu sampai kamu bangun, dan setan tidak akan berani mendekatimu,“ jawab si pencuri.
Dan akhirnya Abu Hurairah pun membebaskan pencuri tersebut. Keesokan harinya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Hurairah tentang tawanannya semalam. Abu Hurairah pun menjawab :“Wahai Rasulullah, pencuri itu telah mengajariku beberapa kalimat yang bermanfaat bagiku. Maka aku bebaskan dia.“
Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bertanya : “Kalimat apakah itu?”
“Dia berkata kepadaku agar aku membaca ayat kursi sebelum tidur. Dan apabila aku membacanya, maka Allah akan menjagaku sampai subuh dan setan tidak akan mendekatiku“, jawab Abu Hurairah.
“Ya Aba Hurairah...ketahuilah sesungguhnya pencuri itu telah berkata jujur kepadamu padahal sebenarnya dia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa pencuri yang kau ajak bicara selama tiga malam ini Ya Aba Hurairah?“
Kisah ini memberitahu kita bagaimana setan mengetahui fadhillah ayat kursi. Padahal itu sama sekali tidak ada gunanya bagi dirinya. Malah Abu Hurairah lah yang bisa memanfaatkan apa yang diajarkan setan. Itulah setan, dia mengetahui apa yang bermanfaat bagi orang lain, tapi tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Begitu juga dengan manusia. Terkadang manusia mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, namun tidak mengamalkannya. Banyak orang yang selalu menyeru kepada kebajikan dan beramal sholeh namun dirinya sendiri tidak melakukannya. Lantas apa bedanya manusia dengan setan? Kisah ini bisa dijadikan tadzkirah untuk para da’i. Akhir-akhir ini banyak da’i yang mengajak jamaahnya untuk sholat tahajud, namun da’i tersebut jarang sholat tahajud.
Ada lagi orang yang mengajak untuk berzakat namun dia sendiri tidak pernah berzakat. Walau begitu, tidak ada salahnya kita mengambil ucapan mereka, meskipun orang-orang tersebut hanya pandai berbicara. Selama itu tidak melenceng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anh : “Unzhur mâ qôla, walâ tanzhur man qôla”. Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan. Sekalipun yang mengatakan adalah orang gila, apabila yang dikatakan baik dan bermanfaat, tidak ada salahnya didengar dan diamalkan.
Masih ada lagi pelajaran yang bisa diambil dari setan. Kali ini adalah kisah setan yang menolong Abdullah ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anha, seorang sahabat yang taat beribadah walaupun buta. Suatu hari Ibnu Ummi Maktum mengikuti kajian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kajian tersebut Rasulullah menyampaikan tentang kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat berjamaah di masjid. Lalu Ibnu Ummi Maktum bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah saya diwajibkan shalat berjamaah di masjid juga walaupun saya tidak dapat melihat?“
Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam menjawab : “Apakah kamu mendengar suara azan?“
“Ya...saya mendengarnya“, jawab Ibnu Ummi Maktum.
Rasulullah pun tetap memerintahkannya untuk pergi ke masjid sambil merangkak sekalipun. Dengan penuh keimanan, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke masjid ketika azan berkumandang dan shalat berjamaah dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu shubuh Ibnu Ummi Maktum hendak pergi ke masjid. Di tengah perjalanan kakinya terantuk batu hingga berdarah. Karena keimanan dan ketaatannya kepada Allah, beliau tetap pergi ke masjid untuk shalat berjamaah.
Di waktu shubuh keesokan harinya, Ibnu Ummi Maktum kembali terjatuh. Namun, beliau beruntung karena ada seorang pemuda yang menolongnya dan menuntunnya hingga ke masjid. Keesokan harinya pun demikian, pemuda tersebut kembali menolong Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Begitu terus selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Abdullah Ibnu Ummi Maktum pun merasa penasaran dan ingin membalas jasanya. Akhirnya beliau bertanya kepada pemuda tersebut : “Wahai saudaraku, siapakah namamu? Izinkan aku mengetahuinya supaya aku bisa mendo’akanmu kepada Allah.“
Si pemuda pun menjawab : “Apa untungnya bagi Anda apabila aku memberi tahu namaku. Dan Anda tidak perlu mendoakanku.“
“Kalau begitu janganlah kamu membantu aku lagi ketika aku terjatuh. Aku tidak mau ditolong lagi olehmu karena dirimu tidak mau aku do’akan“, ujar Ibnu Ummi Maktum kepada sang pemuda.
Sang pemuda pun akhirnya memperkenalkan dirinya. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku adalah setan.“
“Lantas mengapa kamu menolongku ketika aku terjatuh dan selalu mengantarku ke masjid. Bukankah seharusnya kamu menghalangiku pergi ke masjid?“, tanya Ibnu Ummi Maktum.
Sang pemuda yang tidak lain adalah setan itu menjawab : “Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah ketika engkau terjatuh beberapa hari lalu dalam perjalan ke masjid? Aku tidak ingin itu terulang lagi. Sebab jika kau terjatuh, maka Allah mengampuni separuh dosamu. Aku takut kalau kau terjatuh lagi, Allah akan menghapus dosamu yang separuh lagi hingga seluruh dosamu terhapus. Maka sia-sialah kami –para setan- menggodamu selama ini.
Kisah Ibnu Ummi Maktum mengajarkan kita bahwa setan sangatlah licik. Mereka tidak rela apabila kita cucu Adam dekat dengan ampunan Allah. Dia menolong Ibnu Ummi Maktum bukan karena keikhlasan, melainkan takut dosa Ibnu Ummi Maktum terhapus semua.
Nah, saat ini banyak sekali orang yang tertulari sifat setan yang satu ini. Contohnya banyak orang yang mempelajari Islam tapi bukan untuk memperjuangkan Islam, melainkan untuk menghancurkan Islam. Ada juga yang menyelipkan pikiran-pikiran nyeleneh dengan mengutip dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun qoul ulama dengan tafsir yang melenceng. Bisanya yang begini ini para aktivis Islam Liberal. Mereka asal mencomot dalil untuk membuat hukum atau hujjah tanpa mengetahui hakikat dalil tersebut untuk masalah apa. Maksudnya sih ingin memperbarui dan memodernisasi hukum Islam. Tapi malah jadinya menghancurkan Islam.
Dua kisah di atas mengajarkan kita bagaimana sebenarnya sifat setan. Setan mengajarkan hal-hal yang tidak ber-atsar kepada dirinya sendiri. Dia mengajari Abu Hurairah namun dirinya tidak melakukannya. Dia juga menolong Ibnu Ummi Maktum dengan tujuan supaya Ibnu Ummi Maktum tidak terhapus semua dosanya. Setan punya berjuta cara menggagalkan kita dalam melakukan suatu kebaikan.
Wallahu a’lam bishowab
0 comments:
Post a Comment