Sunday, 19 February 2012

Belajar Bersyukur dari Ibnu Ummi Maktum

Siapa tidak kenal dengan seorang sahabat yang pemberani walaupun tidak bisa melihat ini? Ibnu Ummi Maktum yang memiliki nama lengkap Abdullah bin Qais bin Zaidah bin Al-Asham. Orang Irak biasa memanggil beliau dengan ‘Amr. Beliau adalah anak dari seorang ibu bernama ‘Atikah yang biasa dipanggil Ummi Maktum. Abdullah ibnu Ummi Maktum termasuk salah seorang yang mula-mula masuk Islam. Beliau adalah salah seorang di antara tujuh orang yang berani menampakkan ke-Islamannya di Makkah.
Di awal sejarah Islam, Abdullah ibnu Ummi Maktum diberi hidayah oleh Allah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah ber-Islam. Ketika itu beliau masih muda. Beliau merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, walaupun matanya tidak dapat melihat. Dan ini merupakan nikmat besar yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Abdullah ibnu Ummi Maktum memiliki ilmu dan adab istimewa yang dianugerahkan Allah kepadanya, menggantikan kebutaan matanya sebagai cahaya dalam pandangan dan pancaran hati. Beliau memang tidak dapat melihat secara jasadi, tetapi beliau dapat melihat menggunakan mata hatinya. Hatinya dapat mengetahui apa yang tersembunyi.
Beliau hijrah ke Madinah pasca perang Badar. Beliau adalah muadzin kedua Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah Bilal bin Rabah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abdullah ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti beliau untuk mengimami shalat umat Islam di Madinah ketika Rasulullah pergi ke medan perang.
Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anha merupakan salah seorang sahabat yang membuat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendapat teguran dari Allah subhanahu wa ta’ala. Suatu hari beliau mendatangi Rasulullah untuk mempelajarai Al-Qur’an. Saat itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara dengan tiga orang pemuka Quraisy, mengajak mereka memeluk Islam. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpaling muka dan bermuka masam terhadap Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anha. Lalu turunlah firman Allah dalam surat ‘Abasa.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena Telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada (Allah). Maka kamu mengabaikannya.”
Walaupun buta, Ibnu Ummi Maktum memiliki naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar ia keluar dari rumahnya, dengan bertopang pada tongkatnya atau lengan salah seorang Muslimin untuk mengumandangkan adzan di masjid. Beliau bergantian adzan dengan Bilal bin Rabah. Apabila Bilal yang mengumandangkan adzan, maka Abdullah ibnu Ummi Maktum lah yang mengumandangkan iqamah. Namun, di waktu fajar Bilal mengumandangkan adzan untuk membangunkan kaum Muslimin di sepertiga malamnya. Sedangkan Abdullah ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan di waktu shubuh. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adzan Abdullah ibnu Ummi Maktum sebagai sandaran habisnya waktu sahur. Rasulullah bersabda : “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan...“
Abdullah ibnu Ummi Maktum adalah orang yang sangat mulia karena dua wahyu yang diturunkan Allah berkaitan dengan beliau. Yang pertama adalah teguran terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang ada dalam surat ‘Abasa dan yang kedua tentang ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan berhalangan dalam berperang. Beliau memiliki hasrat yang besar untuk bisa ikut berperang di jalan Allah kendati matanya buta. Imam bukhari mengatakan dalam tafsir Ibnu Katsir juz 5 ketika turun firman Allah surat An-Nisaa‘ ayat 95 yang artinya : “Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (tidak ikut berperang)…”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Zaid bin Tsabit untuk menulisnya. Kemudian datanglah Ibnu Ummi Maktum yang mengadukan tentang keadaan dirinya yang tidak dapat melihat. Kemudian turun firman Allah :“Kecuali yang mempunyai uzur...“
Walau ayat tersebut telah diturunkan, beliau masih tetap memiliki hasrat yang tinggi untuk bisa syahid di jalan Allah. Dan akhirnya Allah mendengar do’a beliau untuk bisa berjihad fii sabilillah. Beliau menjadi orang buta pertama yang ikut berperang dalam sejarah Islam, yaitu perang Al-Qadisiyah. Saat itu beliau membawa panji berwarna hitam sambil mengenakan perisai dan maju ke medan perang.
Abdullah ibnu Ummi Maktum adalah orang yang taat beribadah. Buktinya adalah beliau tetap menaati perintah Allah dan Rasulullah untuk shalat berjamaah di masjid walaupun beliau tidak bisa melihat. Berbeda dengan beberapa Muslim saat ini yang walaupun diberi penglihatan yang sempurna oleh Allah subahanahu wa ta’ala, namun tidak pernah sholat berjamaah di masjid. Jangankan shalat berjamaah di masjid, malah ada yang sampai bolong shalatnya. Kisah Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu anhu memberi banyak pelajaran berharga kepada kita. Beliau selalu bersyukur kepada Allah walaupun tidak diberi penglihatan jasadi. Berbeda dengan kita yang terkadang mengeluhkan mata yang terlalu sipit atau terlalu lebar. Padahal kita masih diberi kesempatan Allah untuk melihat dan menikmatai keindahan hamparan hijaunya gunung Lawu, birunya langit Tawangmangu, dan ciptaan Allah lainnya.
Beliau juga keukeuh tetap ingin ikut berperang walaupun matanya buta. Sedangkan banyak umat Islam saat ini yang menciut ketika diajak untuk membantu saudaranya di Palestina atau di Afghanistan –yang ingin berjihad juga banyak kok-. Semoga kita bisa meneladani sikap beliau yang tawadhu dan ketaatannya dalam beribadah. Yang paling penting adalah meneladani sikap beliau yang selalu bersyukur walaupun memiliki kekurangan.
Banyak diantara kita yang kufur nikmat, padahal kita diberi jasad yang sempurna tidak ada cacat sedikitpun. Kita lebih sering memperhatikan “apa yang kurang dalam diri kita?“ bukan “berapa banyak nikmat Allah yang dianugerahkan dalam diri kita?“. Kekurangan yang sedikit lebih diperhatikan daripada kelebihan yang melimpah ruah. Tidak heran apabila kelebihan yang Allah berikan malah tak terlihat karena lebih sering memperhatikan kekurangan. Ada orang yang matanya terlalu sipit akhirnya melakukan operasi plastik supaya bisa mendapatkan mata yang lebih lebar. Begitu juga sebaliknya. Padahal Allah telah menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna dan disesuaikan dengan diri kita. Hanya saja kita lebih sering ber-suuzhon (buruk sangka) kepada Allah daripada ber-husnuzhon (berbaik sangka). Orang yang ditakdirkan Allah tidak bisa melihat bukanlah orang yang paling menderita di dunia ini. Karena bisa jadi Allah menyelamatkannya dari perbuatan maksiat yang ditimbulkan matanya apabila diberi penglihatan. So, mari kita belajar besryukur dari Abdullah Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anha.
Wallahu a’lam bishowab

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template