Lagi-lagi hati saya terketuk oleh pelajaran Prof. Sholahuddin. Gimana enggak, beliau selalu membuat saya merasa malu. Pasalnya saya yang setiap hari berjibaku dengan Al-Qur’an, dari bangun tidur sampai tidur lagi, belum terlalu bisa mentadaburi AL-Qur’an. Padahal banyak sekali ayat-ayat yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, lingkungan, sosial, dan sains, serta masalah-masalah yang sepele pun telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an. Hanya saja banyak orang yang belum bisa mentadaburinya, hanya sekedar membaca, atau menghafalnya, dan saya termasuk salah satu di dalamnya. Hal ini membuat saya semakin ingin mempelajari Al-Qur’an, menghapalnya, juga bisa mentadaburinya. Saya ingin sekali menjadi Al-Qur’an berjalan, berakhlaq dengan Al-Qur’an, bermuamalah juga dengan Al-Qur’an.
Prof. Sholahuddin membagi pengalaman beliau ketika menghadiri sebuah seminar tentang penafisiran ilmiah Al-Qur’an berhubungan dengan tumbuhan, air, dan hari kiamat. Karena beliau orang pertanian, beliau menceritakan penafsiran ilmiah Al-Qur’an berhubungan dengan tumbuhan. Pembicara menjelaskan tafsir ayat-ayat tentang tumbuhan yang ada di dalam Al-Qur’an. Prof. Sholahuddin, yang juga gurubesar Universitas Sebelas Maret, menyayangkan karena metode penafsiran yang dipakai bukan mengikuti penafsiran yang dicontohkan ulama. Tetapi menggunakan metode penafsiran Antropologi dan Sosiologi, seperti metode penelitian pada umumnya. Bukan hanya itu, sumber yang dipakai kebanyakan diambil dari internet, bukan kitab-kitab tafsir rujukan seperti tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ath-Thobari, dan lainnya. Kebetulan pembicara hanya memaparkan tumbuhan-tumbuhan yang tidak ada di Indonesia, seperti kurma, zaitun, habbatus sauda’.
Prof. Sholahuddin menanggapi, alangkah lebih baik apabila yang dibahas adalah yang berhubungan dengan lingkungan Indonesia sekarang. Maksudnya, yang bisa diterapkan di Indonesia. Misalnya saja surat Al-Baqarah ayat 261 :
مَثَلُ الذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّتٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْبُلَةٍمِّائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat di atas, beliau berpendapat alangkah lebih baik apabila ayat ini ditelaah. Allah telah menjelaskan “sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji”. Jika konsep ini dipakai dalam pertanian di Indonesia, dan bisa dibuktikan oleh para peneliti pertanian di Indonesia, maka Indonesia akan menjadi Negara kaya, dan tidak perlu lagi mengimport beras. Bagaimana tidak, sebutir benih padi, menumbuhkan tujuh bulir, dan di tiap bulirnya terdapat seratus biji. Berarti satu tanaman padi bisa menghasilkan 700 butir padi. Prof. Sholahuddin mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada tumbuhan padi di Indonesia yang bisa menghasilkan 700 biji pada satu tumbuhan padi, paling banyak hanya 450 biji.
Beliau menggugah kita, harusnya kami lebih kritis dalam berpikir. Maksudnya, jangan hanya sekedar menghapal Al-Qur’an atau membacanya saja. Tapi mencoba untuk sedikit mentadaburinya, wa bil khusus bagi orang-orang yang berjibaku dan memang menekuni bidang tafsir Al-Qur’an. Beliau juga mengatakan : ”Anda (saya dan teman-teman saya) tidak perlu pusing-pusing dan sibuk-sibuk meneliti tanaman padi, karena itu bukan bidang Anda. Justru Anda seharunya menelaah tafsirnya dan menuntut –maksudnya meminta- para pakar pertanian untuk bisa membuktikan tanaman padi dengan 700 biji itu. Sehingga para ahli pertanian tertarik dan termotivasi untuk bisa menelitinya.
Dan saya jadi semakin kagum dan malu dengan beliau. Kagum dengan pemikiran beliau yang mengaitkan sains dengan Al-Qur’an. Karena tidak sedikit ilmuwan yang melakukan dikotomi ilmu pengetahuan, dan memisahkan ilmu-ilmu sains yang ada dengan Al-Qur’an. Saya juga malu dengan beliau, yang memiliki semangat luar biasa untuk bisa menghapal dan mentadaburi Al-Qur’an di usianya yang sudah tidak muda lagi. Sedangkan saya yang masih muda, terkadang kehilangan semangat dan motivasi untuk terus mempelari dan mentadaburi Al-Qur’an.
Makanya, jangan cuma dibaca dan dihapal saja Al-Qur’annya, tapi ditadaburi juga!!!^^
0 comments:
Post a Comment