Pagi ini ketika sedang mencuci piring, seorang teman bercerita kepada saya tentang kegalauan dan kebimbangannya meneruskan studi di jurusan tafsir. Kebetulan minat beliau adalah syariah bukan tafsir. Dan awalnya college saya memilih jurusan syariah. College saya termasuk college baru, dan ketika mengurus perizinan ternyata yang disahkan adalah jurusan tafsir Al-Qur’an. Jadilah temanku merasa bimbang.
Sebenarnya hal itu sering saya alami, terlebih saya kuliah di jurusan yang menurut saya bukan fak saya alias nggak saya banget. (hahaha….curcol…:P) Gimana nggak, saya wira-wiri ikut tes sana-sini supaya bisa kuliah di fakultas bioteknologi, eh giliran udah dapet beasiswa, Ayah saya menolak dan tau-tau mendaftarkan saya di tempat saya kuliah saat ini. Hati saya remuk redam ketika itu. Secaraaa…Ayah saya selalu mensupport saya mengikuti berbagai macam tes, tetapi ketika saya sudah diterima, semua itu menjadi tidak bermakna dan tiba-tiba tidak mengizinkan saya untuk mengambilnya.
Namun, saya mencoba untuk tetap mengikuti keinginan beliau dan tidak menjadi pemberontak. Pikir saya waktu itu, kapan lagi saya bisa berbakti dan membanggakan orang tua saya. Orang tua saya menginginkan saya untuk menghapal Al-Qur’an dan mempelajarinya. Jikalau ini bisa membuat kedua orang tua saya bangga dan bahagia…kenapa nggak saya jalani? Toh…saya ingin berbakti kepada orang tua dan membuat mereka bangga.
Kehidupan di awal perkuliahan bagaikan neraka…(lebay). Saya harus beradaptasi dengan berbagai hal baru dari lingkungan, hingga mata kuliah. Saya harus merangkak dari nol sementara teman-teman saya berlari. I felt that I’m incapable study in this major. Setiap orang tua saya menelepon, saya selalu mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Tapi orang tua saya hanya berpesan satu kalimat ‘ikhlas’. Dari awal kuliah hingga saat ini tahun ketiga, kata sakti itu selalu diucapkan oleh kedua orang tua saya setiap telpon, atau pun ketika orang tua saya datang menjenguk. Begitu juga ketika saya hendak kembali ke rantauan setelah liburan, selalu saja orang tua saya berpesan dengan satu kata, ‘ikhlas’.
Agaknya tiga tahun saya dicekoki kata ‘ikhlas’ hati saya jadi menerima. Saya bisa lebih menerima keadaan dan terus mencoba berlari mengejar teman-teman saya. Dan hanya dengan keikhlasan-lah saya bisa tetap survive hingga tahun ketiga ini, tentunya itu semua atas kehendak dan izin Allah. Ketika hati kita ikhlas, semua masalah akan menjadi lebih mudah, segala beban akan menjadi ringan, hati menjadi tentram, dan nggak bikin stress. Ikhlas membuat saya lebih bersemangat dalam menuntut ilmu. Dengan ikhlas saya jadi lebih nrimo segala sesuatu dan akhirnya menjadi lebih bersyukur. Ya…saya bersyukur tidak jadi mengambil beasiswa yang dulu saya usahakan dengan susah payah. Karena saya tidak yakin, mungkinkah saya bisa lebih menyadari jati diri saya sebagai seorang hamba? Saya juga tidak yakin apakah saya bisa menutup aurat saya dan tidak terperosok dalam pergaulan bebas yang serba hedonis? Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.
Setelah saya renungi, agaknya ikhlas adalah kunci utama dalam menuntut ilmu. Tanpa keikhlasan ilmu yang dipelajari hanya akan menjadi angin lalu, masuk telinga kanan keluar lagi dari telinga kiri. Tanpa keikhlasan segala sesuatu akan menjadi sulit. Ketika dapet nilai sisir (baca E) dari dosen, kalau hati nggak ikhlas, pasti ujung-ujungnya frustasi. Nah…kalau hati ikhlas nerima nilai sisir menghiasi kertas ujian, Insya Allah hati jadi tentram dan besoknya mencoba memperbaiki kesalahan dengan belajar lebih giat lagi supaya nggak dapet nilai sisir. Begitu juga ketika tugas numpuk, kalau dijalani dengan ikhlas, semua tugas akan terasa ringan dan nggak jadi pikiran kalau dikerjakan. Jadi…..yuuk kita biarkan si ‘ikhlas’ menemani kita dalam hidup ini, supaya beban menjadi lebih ringan, dan segala masalah jadi lebih mudah….:DD
0 comments:
Post a Comment