Hujan
deras mengguyur Desa Pakel dan sekitarnya di akhir sore menjelang Maghrib. Kemungkinan
tasmi’ bersama teman besar. Harap-harap cemas menunggu hujan segera reda,
was-was target minggu ini tak tercapai. Allah berkehendak lain. Musyrif kami
izin dan itu berarti kami harus tasmi’ berpasang-pasangan. Tak mengapa, toh aku
bisa melancarkan hafalan-hafalanku sebelumnya. Aku berniat untuk menyambangi
kamar depan selepas Maghrib mencari pasangan tasmi’.
Rintik-rintik
hujan masih terus bercucuran. Sepertinya mereka enggan berhenti membuat suasana
menjadi semakin syahdu. Merayu setiap insan untuk menarik selimutnya dan
menyambangi kasur empuk mereka. Virus menguap pun mulai bertebaran di seantero
asrama. Penyebarannya mengalahkan virus brontok maupun trojan. Ini masih
Mahgrib kawan!
Beruntung
aku sudah mempunyai antivirus. Antivirus yang lebih jahat dari Kaspersky yang
menganggap extension file maktabah Syamilah sebagai virus. Sebuah kertas mungil
berwarna biru muda terpampang di halaman depan mushaf pink yang selalu
menemani. Huruf-huruf tak beraturan dengan pena biru memenuhi kertas mungil
biru muda tadi. “Bapak and Ibu”. Hanya kata tiga buah suku kata yang sangat
sederhana tapi memiliki arti luar biasa. Dan ini mengingatkan akan targetku 301
halaman di semester ini. Aku tidak boleh kalah. Tiga ratus satu halaman terus
memenuhi kepalaku. Ditambah dengan bayang-bayang Bapak dan Ibu tersenyum
kepadaku. Bangkit Rahma.
Jaket pink dengan kupluk yang sedang menghangatkan diri di dalam lemari aku ‘paksa’ ke luar. Maaf kawan, aku ingin kau menemaniku malam ini menembus rintik-rintik hujan ke tetangga sebelah. Belum sempat bertarung dengan hujan seorang kawan memanggil. “Rahma...mau ana simak?”
“Kakak
mau tasmi’ sama siapa?”, tanyaku.
“Ana
tasmi’ sama tetangga sebelah. Tapi nggak papa, sini Rahma ana simak”, tawarnya.
Alhamdulillah,
selamat kawan kau tak perlu bertarung dengan rintik-rintik hujan itu malam ini.
“Mau
berapa Rahma?”, tanyanya.
“Lima
halaman aja kak.” What? Bukankah tabunganmu tadi sore 20 halaman? Kenapa sekarang
menurun jadi empat kali lipat kawan? Tenanglah, tabungan itu aku simpan untuk
besok, dan aku tidak ingin mengganggu waktu kakak yang sedang sibuk ini. Bismillah
semoga tabunganku tetap terjaga hingga esok.
Hujan
masih enggan untuk berhenti. Mereka sedang senang membagikan nikmat Allah
kepada seluruh makhluk Allah di dunia. Bukankah hujan sebuah nikmat?
Suara
rintik-rintik hujan menambah suasana syahdu. Lantunan ayat al-Quran terdengar
makin indah dengan back sound rerintik hujan. Halaman keempat hampir selesai, berarti
rintangan akan segera muncul di halaman kelima. Bagian ini banyak dijadikan
momok oleh banyak teman seperjuangan. Junior pun berkata demikian. Bisa jadi
karena ini tentang perceraian, sebuah hal yang menakutkan.
Memasuki
lembar kelima, suara langkah kanak-kanak tertawa penuh canda terdengar. Mereka datang.
Mereka datang di saat aku memasuki halaman kelima. Suara tawa renyah mereka
beriringan dengan tilawah al-Qur’an. Sebentar lagi suara mereka akan merusak
halaman kelimaku jika fokus hilang. Menutup telinga dan memejamkan mata. Sepertinya
cara ini ampuh.
“Assalamu’alaikum...
Kak Rahmaaaaaa!” satu-persatu mereka bersahut-sahutan. Halaman kelima ini harus
selesai dengan gilang gemilang. Kau pasti bisa kawan. Kurang tiga baris. Hadapi
tiga baris ini tanpa hambatan kawan. Sayang pada baris kedua sebelum akhir
konsentrasiku buyar. Kakak baik hati yang menyimakku pun harus menuntunku untuk
sampai di baris terakhir. Nilai kurang sempurna menjadi kawanku malam ini.
“Kak
Rahma... ceritaaaaa!” ucap empat anak laki-laki dan empat anak perempuan
serempak.
“Lho
kemarin sudah cerita. Berarti hari ini kita murajaah.”
“Cerita
aja!”, ucap anak lelaki pemberani yang dibait menjadi pemimpin mereka.
“Iyaaa
cerita aja...” pinta anak lelaki dermawan yang pengertian.
“Ini
aku sudah bawa buku ceritanya.” Ucap anak lelaki jujur sambil mengeluarkan
sebuah buku bertuliskan ‘Kisah Hewan-hewan dalam Al-Qur’an.
“Insya
Allah nanti cerita. Tapi sehabis ngaji baru kita cerita.” Saranku.
“Yaaaaah...”,
seru mereka bersamaan, kecuali seorang anak lelaki lincah terkecil.
“Aku
ngaji duluan Kak. Tapi habis itu cerita lho ya...” ucapnya percaya diri dengan sedikit
logat jawa.
Rintik-rintik
hujan masih setia menemani. Menambah suasana bertambah syahdu disertai lantunan
surat al-Fiil anak laki-laki lincah terkecil. Suara has kanak-kanak. Suara yang
selalu membuat hati para pecinta kanak-kanak merasa tentram. Sebuah kilatan
cahaya datang menyertai rintik-rintik hujan. Sang Guntur datang setelah kilatan
cahaya pergi.
“Waaah....subhaanaladzi
yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min khifatiih.” Ucap kanak-kanak
serempak. Hey... apa yang mereka ucapkan barusan? Bukankah itu terletak di halaman
250 baris terakhir? Otakku berputar. Lobus
temporal mulai mencerna informasi yang baru didengar. The left side of brain
sibuk menerjemahkan bahasa dari lobus temporal.
Empat
puluh lima detik, otak kiri berhasil menyelidiki apa yang terjadi. Yang mereka
ucapkan barusan bukankah itu doa yang diucapkan ketika melihat petir dan
mendengar guntur? File doa ini sepertinya sudah lama menjadi hidden file
bersama tumpukkan hidden file lainnya dalam otak. Dan baru saja setting-an
folder option dalam otakku diubah oleh kanak-kanak cerdas ini. Hidden file ini
muncul kembali.
Lupa.
Yah aku lupa dengan doa ini. Doa ini pernah singgah di otakku. Ia merasa
kesepian tak ada amal yang menemaninya. Ia protes meminta amal, sahabat
setianya menemaninya. Akhirnya ia memilih untuk bersembunyi, menyendiri. Ia bersembunyi,
protes menunggu si pemilik otak datang menjemputnya ditemani sahabat sejatinya,
amal. Ia ingin tahu seberapa pentingkah dirinya bagi si empunya otak ini.
Kilatan
cahaya muncul kembali bagai blitz kamera saku milik Kakak cantik. Suara guntur
menyusul kilatan cahaya tadi beberapa saat kemudian. Kanak-kanak cerdas kembali
berseru subhaanaladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min
khifatiih.
Hey..
kawan, tidak malukah engkau dengan mereka? Mereka belum kenal apa itu tafsir,
ta’wil, tahlili maupun maudhui. Arti ra’du pun mereka belum
tahu. Tapi mereka menjaga dengan baik doa yang mereka dapatkan. Kanak-kanak itu
menghadirkan sahabat baik doa, amal dalam kehidupan sehari-harinya.
Doa yang
mereka ucapkan hanya mereka kenal di sekolah. Ibu guru selalu menanyakan doa
itu ketika ujian. Tapi doa itu menghiasi hari-hari mereka. Apalagi di musim
hujan seperti ini. Doa itu tidak hanya mereka lantunkan di kala ujian atau di tanya
Ustadzah.
Dalam
sekejap kanak-kanak itu seperti masayikh dengan banyak ilmu bagiku. Dan aku
merasa menjadi anak kelas satu sekolah dasar yang belum tahu apa-apa. Yah kanak-kanak
itu adalah masayikh luar biasa. Mereka cerdas. Sangat cerdas. Mereka seorang
alim. Bukankah seorang alim adalah orang yang berhasil mengamalkan ilmu yang
didapat?
Kilat
kembali muncul diiringi bunyi guntur yang cukup menggema di seantero Pakel. Lagi-lagi
kanak-kanak itu berseru :
سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ
مِنْ خِيفَتِهِ
"Maha
Suci Allah yang telah menjadikan kilat ini memuji-Nya dan juga Malaikat karena
takut kepada-Nya." (HR. Malik dalam Muwatha'nya dari hadits Amir bin
Abdullah bin al-Zubair Radhiyallahu 'Anhu. Imam Nawawi menyebutkannya dalam
al-Adzkar, hal. 164. Isnadnya adalah hasan sebagaimana disebutkan Syaikh
Al-Albani dalam al-Kalim al-Thayyib dengan tahqiqkannya, hal. 156)
Rintik-rintik
hujan berganti dengan butiran-butiran air yang semakin deras. Angin mulai genit
mencolek pipi-pipi kami. Suasana pun menjadi bertambah syahdu dengan lantunan
surat al-Insan seorang anak perempuan baik hati. Menyadarkan akan hakikat sejati
asal-usul penciptaan diri.
_Hujan Deras, Pakel_
0 comments:
Post a Comment