Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang
berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang yang
meliputi perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya
kepada sesuatu. Menurut Syeikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan,
aqidah secara syara adalah iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para rasul Allah, kepada hari akhir, serta kepada qadar baik maupun qadar buruk.
Aqidah sendiri dalam Islam merupakan
fondasi yang menjadi tonggak utama dari sebuah bangunan. Bila fondasi
tersebut baik, semua bagian dari bangunan tersebut akan menjadi baik
pula. Sebaliknya jika fondasi tersebut rusak maka semua bagian dari
bangunan tersebut akan rusak pula. Karena itulah Al-Qur’an al-Karim pada
fase Makiyyah memulai risalah dakwahnya dengan membawa ayat-ayat yang
membangun sebuah aqidah yang benar dalam hati manusia. Selama itu pula,
Al-Qur’an berusaha untuk mengokohkan aqidah umat dan menancapkannnya ke
dalam hati-hati mereka,sebelum selanjutnya membicarakan tentang
hukum-hukum syar’i dan masalah-masalah furu’ (cabang).
Aqidah yang dianut oleh ummat Islam hendaknya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, serta tabi’uttabi’in atau yang disebut juga sebagai aqidah ahlussunnah wal jama’ah.
Bagi seorang muslimah, yang kebanyakan lebih mengedepankan perasaan
dibanding rasio, kekuatan aqidah akan membuatnya mantap menempuh jalan
yang lurus menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Sumayyah istri Yasir yang lebih memilih syahid,
daripada harus menyembah Latta dan Uzza sebagai sesembahannya. Dan
beliau adalah muslimah yang mendapat gelar syahidah pertama.
Menurut Syeikh Shalih bin Fauzan
bin Abdullah al-Fauzan penentuan substansi aqidah dalam Islam bersifat
absolut, yaitu berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ahlussunnah wal jama’ah di tengah kelompok-kelompok yang ada, harus bersikap adil. Aqidah ahlussunnah wal jama’ah berada di tengah antara sikap melampaui batas dan sikap terlalu meremehkan.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا… {143}
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”
Berikut ini adalah sikap adil (pertengahan) atau wasath ahlussunnah wal jama’ah dalam memahami Islam:
1. Dalam Keimanan Terhadap Nama dan Sifat Allah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Termasuk iman kepada Allah adalah beriman terhadap seluruh sifat yang
Allah sifatkan bagi diri-Nya yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan
juga disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif (mengubah)dan ta’thil (menafikan)serta tanpa melakukan takyif (menanyakan bagaimana)dan tamsil (menyerupakan), dan dengan apa yang disifatkan oleh as-Sabiqun al-Awwalun (para generasi pertama), serta tidak melampaui al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan wajib beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun Allah subhanahu wa ta’ala berfirmandalam surat Asy-Syuura’ ayat 11 :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ…
“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
Inilah keyakinan ahlussunnah wal jama’ah. Mereka berada di pertengahan antara ahlul ta’thil dan ahlu tamsil. Ahlu ta’thil mengingkari seluruh nama dan sifat wajib bagi Allah. Ada kelompok yang menafikan semuanya, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah. Dan ada pula kelompok yang menafikan sebagiannya, seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Sedangkan ahlu tamtsil menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menyamakan sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya seperti yang diyakini oleh kelompok Karomiyyah dan Husyaamiyyah.
Ahlussunnah meyakini bahwa
Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya. Dan barangsiapa yang menyifati
Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia telah kafir.
2. Dalam Memahami Takdir Illahi
Dalam memahami takdir Illahi ahlussunnah wal jama’ah berada
di pertengahan antara orang-orang yang meremehkan takdir dan
orang-orang yang melampaui batas dalam memahami takdir. Kelompok qodariyyah mengingkari
adanya takdir. Mereka beranggapan bahwa semua tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah. Aliran ini beranggapan bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Mereka menganggap apabila
mereka memperoleh kesuksesan itu karena usaha mereka sendiri.
Kelompok lainnya adalah kelompok jabariyyah
yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka
berpendapat bahwa manusia itu di dalam perbuatan terpaksa, maksudnya
perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala.
Misalnya adalah orang yang beranggapan bahwa kebodohan adalah takdir
dari Allah dan tidak bisa diubah walaupun dengan belajar
sungguh-sungguh. Mereka menganggap itu adalah kehendak Allah.
Kedua kelompok di atas telah menyimpang dalam memahami takdir Illahi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat at-Takwiir ayat 28-29 :
لِمَنْ شاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (28) وَما تَشاؤُنَ إِلاَّ أَنْ يَشاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعالَمِينَ (29)
“(yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam.”
Pada ayat “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” adalahbantahan terhadap pemahaman Jabariyyah dalam
memahami takdir. Pada ayat ini Allah menetapkan bahwa hamba tidak
dipaksa dan memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman ”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah.” Dalam ayat ini disebutkan bantahan terhadap paham Qadariyyah yang memahami bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri tanpa ada intervensi dari Allah.
Sedangkan ahlussunnah wal jama’ah berada di antara dua kelompok di atas dalam memahami takdir. Ahlussunnah wal jama’ah tidak mengingkari adanya takdir dan ketetapan Allah namun tetap berusaha untuk mendapatkan ridho Allah.
Saudariku, itulah beberapa sikap adil (pertengahan) atau wasath ahlussunnah wal jama’ah dalam memahami Islam. Insya Allah akan dilanjutkan lagi dalam pembahasan Aqidah Wanita Muslimah Part 2.
Pemahaman aqidah yang benar bagi seorang Muslimah sangatlah penting.
Terlebih lagi seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.
Hendaknya seorang ibu memahami benar-benar aqidah Islamiyah agar anaknya
pun mendapat pemahaman aqidah islamiyah yang benar.
Wallahu a’lam bishowab
Sumber:
- Mabahits fii Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir bin Abdul Karim
- Dirasatul Firaq, Tim Ulin Nuha Ma’had ’Aly An-Nuur
- Firaq Mu’ashirah, Dr. Ghalib bin Ali ’Iwaji
- Panduan Amal Wanita Shalihah, Afifah Afra
0 comments:
Post a Comment