Dalam artikel Aqidah Wanita Muslimah Part 1 kita sudah membahas beberapa sikap pertengahan ahlussunnah wal jama’ah dalam memahami Islam. Nah, dalam artikel ini akan dibahas beberapa sifat pertengahan ahlussunnah wal jama’ah dalam memahami Islam, yaitu :
1. Dalam Menggelari dan Menghukumi Seseorang
Maksud dari menggelari di sini adalah
gelar yang telah Allah tetapkan dalam Islam, seperti kafir, fasik,
mu’min, maupun muslim. Dan menghukumi di sini maksudnya adalah hukum
yang berkaitan dengan pemilik gelar tersebut, baik itu hukum di dunia
maupun di akhirat. Dalam menggelari dan menghukumi seseorang, ahlussunnah wal jama’ah berada di pertengahan antara kelompok Wa’idiyyah dan Murji’ah.
Kelompok Wa’idiyyah menggelari pelaku dosa besar dengan gelar kafir, seperti yang dilakukan Khawarij yang
mengkafirkan para pelaku dosa besar dari kaum muslimin dan mereka
menghukumi orang Islam yang melakukan dosa besar akan kekal di neraka. Khawarij
juga mengkafirkan orang-orang yang berseberangan dengan paham mereka.
Mereka juga meyakini bahwa dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan
menjadi dosa besar dan akhirnya menjadi musyrik. Atau pun seperti yang
dilakukan Mu’tazilah yang menganggap pelaku dosa besar telah keluar dari iman dan tidak masuk dalam kekafiran atau al-Manzilah bayna al-Manzilatain.
Adapun Murji’ah beranggapan
bahwa pelaku dosa besar tetap memiliki keimanan namun tidak sempurna.
Menurut mereka iman adalah hanya meyakini atau mengetahui dalam hati
atau ucapan dengan lisan saja tanpa harus disertai perbuatan. Bagi
mereka maksiat tidak mempengaruhi keimanan seseorang.
Sedangkan ahlussunnah wal jamaah bersikap seimbang dalam menggelari dan menghukumi pelaku dosa besar. Ahlussunnah wal jama’ah tidak mengafirkan ahlul kiblat (kaum muslimin hanya karena melakakukan suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan. Namun ahlussunnah wal jama’ah juga tidak menganggap bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.
Dalam pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah,
pelaku dosa besar bisa masuk neraka, namun mereka tidak kekal di
dalamnya apabila mereka meninggal dalam keadaan bertauhid. Meskipun
mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah dengan menyadari dosa
mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Apabila
Allah menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan
dosa-dosanya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirmandalam surat An-Nisaa ayat 116 :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
”Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni
dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya.“
Dan apabila Allah menghendaki, mereka
akan diadzab di neraka dengan keadilan Allah. Kemudian Allah akan
mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat orang yang
berhak memberi syafaat di kalangan hamba Allah yang taat. Lalu mereka
pun diangkat ke Jannah Allah.
2. Dalam Menyikapi Para Sahabat
Dalam menyikapi para sahabat, ahlussunnah wal jama’ah bersikap pertengahan antara Rafidhah dan Khawarij. Kelompok Rafidhah bersikap ghuluw (berlebihan) mengagungkan sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dan
ahlul bait. Mereka memerangi sahabat lainnya dan terlalu melebihkan
sahabat Ali dari sahabat yang lain. Mereka juga menghina dan mencela
sahabat lain. Bahkan mereka juga mengkafirkan sahabat lainnya, kecuali
Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary, dan Salman Al-Farisy.
Mereka tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin
Khatab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’iin.
Lain halnya dengan Khawarij yang justru mengkafirkan sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dan para pendukungnya. Mereka memeranginya dan menghalalkan darahnya.
Adapun ahlussunnah wal jama’ah mencintai para sahabat Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam,
namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya.
Tidak juga bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Ahlussunnah wal jama’ah membenci siapa-siapa yang membenci para sahabat dan siapa-siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan. Ahlussunnah wal jama’ah meridhai
para sahabat, meyakini keadilan mereka, dan meyakini bahwa para sahabat
adalah ummat yang utama karena aqidah mereka yang lurus.
3. Dalam Memahami dan Mensifati Al-Qur’an
Ahlussunnah wal jama’ah memahami bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, berasal dari Allah sebagai ucapan yang tidak diketahui kaifiyah (bagaimananya),
diturunkan kepada Rasulullah sebagai wahyu melalui perantara malaikat
Jibril. Al-Qur’an diimani oleh orang-orang mu’min dengan sebenar-benar
iman.
Ahlussunnah meyakini Al-Qur’an
sebagai kalam Illahi yang sesungguhnya, tidak seperti ucapan hamba dan
Al-Qur’an bukanlah makhluk. Tidak seperti yang diyakini oleh kelompok Jabariyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Atau yang dikatakan oleh orang-orang Liberal bahwa Al-Qur’an itu bukanlah kalamullah melainkan hanya makhluk.
Al-Qur’an bukanlah makhluk seperti
ucapan hamba. Dan barangsiapa yang mendengar bacaan Al-Qur’an dan
menganggapnya sebagai ucapan makhluk , maka ia telah kafir. Dan Allah
telah mengancamnya dan menghinanya dengan neraka Saqar. Allah berfirman dalam surat Al-Muddatstsir ayat 25-26 :
إِنْ هَذَا إِلاَّ قَوْلُ الْبَشَرِ (25)سَأُصْلِيهِ سَقَرَ (26)
“Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah Perkataan manusia". Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.
4. Dalam Memahami Iman
Menurut jumhur ulama iman adalah pembenaran dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan perbuatan. Dan Ahlussunnah wal jama’ah
memahami bahwa keimanan seorang hamba dapat berkurang dan bertambah.
Keimanan berkurang karena maksiat dan bertambah karena ketaatan.
Tidak seperti pemahaman Murji’ah
yang mengatakan bahwa iman itu sebatas penetapan dengan lisan atau
sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran
saja. Selain itu, menurut mereka keimanan seseorang tidak bertambah
maupun berkurang. Karena menurut mereka, keyakinan pada sesuatu tidak
termasuk di dalamnya penambahan atau pun pengurangan.
Selain itu, ahlussunnah wal jama’ah
mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan
juga pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur
tentang Rabb dan agamanya berdasarkan riwayat-riwayat Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam. Juga mengimani adanya Yaumul Ba’ats (hari dibangkitkan) dan balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, adanya Yaumul Hisab (hari perhitungan), serta ganjaran maupun siksaan di akhirat. Ahlussunnah juga meyakini bahwa Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam.
Itulah beberapa sikap pertengahan ahlussunnah wal jama’ah dan aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semoga kita bisa terus terjaga
dengan aqidah yang benar ini hingga ajal menjemput kita. Aamiin Yaa Rabbal ’alamiin.
Wallahu a’lam bishowab
Sumber:
- Mabahits fii Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir bin Abdul Karim
- Dirasatul Firaq, Tim Ulin Nuha Ma’had ’Aly An-Nuur
- Firaq Mu’ashirah, Dr. Ghalib bin Ali ’Iwaji
- Panduan Amal Wanita Shalihah, Afifah Afra
NB : Kebetulan artikel ini juga dimuat di Kolom Muslimah website isykarima....silahkan kunjungi di www.isykarima.com
0 comments:
Post a Comment