Sunday, 23 October 2011

Sejarah yang 'SENGAJA' Dilupakan

Memasuki bulan Agustus, suasana di setiap daerah di Indonesia berbeda dengan bulan-bulan biasanya. Bendera dengan warna merah dan putih berkibar di mana-mana di seantero kota. Dari gang-gang sempit hingga ke jalan-jalan protokol, semuanya dihias dengan kibaran atau bentangan kain merah dan putih. Para penjual bendera sibuk menawarkan barang dagangannya di pinggiran jalan. Warga berlomba-lomba menghiasi lingkungan tempat tinggalnya dengan hiasan-hiasan ala hari kemerdekaan, baik itu berupa gapura dengan berbagai macam model ataupun untaian bendera plastik berwarna merah-putih yang dijulurkan dari ujung ke ujung gang. Para PASKIBRAKA (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) dari tingkat kabupaten dan kota hingga tingkat nasional sibuk berlatih mempersiapkan fisik untuk bisa mengibarkan bendera di hari nan krusial. Ya, beginilah suasana masyarakat Indonesia menyambut hari di mana Negara Indonesia diproklamasikan. Berbagai lapisan masyarakat terbawa oleh euphoria hari kemerdekaan RI yang jatuh pada tanggal 17 di bulan Agustus ini.


Tokoh-tokoh nasionalis yang notabenenya adalah pelaku sejarah, sibuk menceritakan detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia. Stasiun televisi baik swasta ataupun negeri berlomba-lomba menayangkan film dokumenter sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk bisa mencapai proklamasi. Tidak mau kalah, media cetak mencoba memuat artikel-artikel yang berhubungan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun apakah semua yang mereka ceritakan, tayangkan, dan informasikan relevan dengan fakta yang sebenarnya terjadi?
Di setiap upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia di mana pun tempatnya, baik di Istana Negara, di alun-alun kota, gedung pemerintahan selalu dibacakan teks Proklamasi kemerdekaan RI. Adapun teks tersebut berbunyi :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Tahun yang digunakan dalam teks Proklamasi di atas adalah tahun Jepang (05) yang kala itu adalah tahun 2605. Teks Proklamasi ini diketik di rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 yang pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan pukul 10.00 pagi.
Mayoritas orang Indonesia yang merasa cinta dengan tanah airnya menganggap tidak ada yang aneh dengan teks yang diketik oleh Sayuti Melik di atas. Namun bagi beberapa ahli sejarah ada sesuatu yang ganjil dari teks Proklamasi yang disusun oleh Bung Karno dan Bung Hatta di atas. Banyak umat Islam yang tidak mengetahui penyimpangan-penyimpangan di balik teks Proklamasi kemerdekaan RI. Di samping itu telah terjadi pengkhiantan yang cukup besar terhadap umat Islam. Teks Proklamasi sebenarnya sudah disusun 2 bulan sebelum Proklamasi kemerdekaan RI, yaitu pada tanggal 22 Juni 1945.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menandatangani rancangan pembukaan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Kesembilan orang yang tergabung dalam Panitia Sembilan berasal dari kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis islam, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis. Para pengamat politik biasanya membagi aspirasi kesembilan orang tersebut sebagai berikut : empat pertama adalah nasionalis sekuler, empat kedua adalah nasionalis Islam, dan satu yang terakhir adalah Kristen yang lebih cenderung dengan kelompok empat pertama.
Pada tanggal 10 Juli 1945, ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno membacakan hasil jerih payah Panitia Sembilan yang berupa rancangan undang-undang Republik Indonesia di depan sidang BPUPK. Adapun rancangan undang-undang tersebut adalah :
“Pembukaan : Bahwa sesunggunya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan .
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampaikan kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” [1]
Dalam situs eramuslim.com ditulis bahwa seorang tokoh sejarah (Alm) KH. AN Firdaus mengungkapkan beberapa pengkhianatan terhadap umat Islam baik pra, saat, dan paska kemerdekaan, yaitu :
1. Teks Proklamasi di atas jelas telah melanggar konsensus atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945.
2. Pada tanggal 22 Juni 1945 ditetapkan bahwa naskah Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia sesuai rencana PPKI, sebagaimana yang disebutkan Mohammad Hatta dalam memoirnya.
3. Bung Hatta berdalih –sebagaimana yang diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi halaman 49- bahwa pada tanggal 16 Agustus 1945, setelah Bung Karno dan Bung Hatta dipaksa oleh golongan muda dan diculik ke Rengasdengklok, tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai teks resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 atau naskah Piagam Jakarta. Alasan tersebut terdengar tidak logis karena Bung Hatta dan Bung Karno merupakan anggota Panitia Sembilan yang merumuskan Jakarta Charter. Dan seandainya mereka tidak memilikinya pada waktu itu, bukankah seharusnya mereka masih mengingat isi dari Jakarta Charter tersebut. Selain itu, Bung Hatta juga berkata : “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.” Rasanya terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang membawa naskah Jakarta Charter yang telah disepakati padahal banyak orang yang hadir. Dan seandainya pernyataan Bung Hatta benar, bukankah proklamasi baru dilaksanakan keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945? Sehingga jika memang “tidak ada apa-apanya” maka seharusnya teks proklamasi sangatlah mudah untuk mengambil naskah Piagam Jakarta yang ada di rumah Soekarno atau Hatta yang letaknya tidak jauh dari kediaman Laksamana Maeda. Jika pun proklamasai harus dilaksanakan malam itu juga, maka rumah Bung Hatta yang letaknya hanya sekitar 1 kilometer dari rumah Laksamana Maeda pun bisa dijangkau dan tidak memakan waktu sampai 5 menit menggunakan mobil. Upaya mengambil naskah Piagam Jakarta akan terlaksana apabila para tokoh proklamasi tersebut berniat baik dan ingin berpegang teguh pada kesepakatan awal menjadikan Piagam Jakarta sebagai dasar Negara. Sungguh miris, proklamasi akan dilaksanakan keesokan harinya -17 Agustus-, namun pukul 2 pagi teks Proklamasi belum ada. Dan akhirnya teks Proklamasi terpaksa dibuat ulang-ulang dengan terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan. Seolah-olah teks krusial tersebut dibuat dengan buru-buru.
4. Seharusnya teks Proklamasi bukan hanya ditandatangani oleh 2 orang, tetapi sembilan orang yang tergabung dalam Panitia Sembilan, sebagaimana naskah Piagam Jakarta. Keotentikan teks-pun dipertanyakan kebenarannya karena hanya ditandatangani oleh 2 orang dan dianggap belum mewakili aspirasi masyarakat Indonesia. Deklarasi Amerika saja ditandatangani lebih dari 5 orang tokoh.
5. Teks Proklamasi yang beredar saat ini terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan tidak aspiratif. Teks tersebut belum mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia dan belum mencerminkan cita-cita yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, yaitu penerapan syari’at Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seharusnya teks naskah Piagam Jakarta-lah yang dibacakan pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, bukan naskah dadakan buatan Bung Karno dan Bung Hatta. Sayang hasil jerih payah Panitia Sembilan yang merupakan kesepakatan bangsa, diubah dalam waktu kurang dari 48 jam oleh kelompok minoritas yang berada di Indonesia. Teks Proklamasi yang telah disusun susah payah diganti dengan tulisan tangan yang penuh coretan dan hanya memiliki dua alinea. Yang lebih menyedihkannya lagi, tokoh nasionalis-sekuler menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Umat Islam pada waktu itu dengan berbesar hati mencoba menerima kecurangan yang telah dilakukan kepada mereka demi kemerdekaan RI.
Sayangnya sejarah-sejarah yang diajarkan di sekolah tidak pernah membahas masalah ini. Para pelajar tidak pernah diberi tahu masalah perubahan teks proklamasi ini di sekolah mereka. Tokoh-tokoh nasionalis pun mencoba melupakan dan tidak mengungkit-ungkit masalah ini. Perubahan naskah proklamasi ini menjadi sejarah yang sengaja dilupakan!!!
Wallahu a’lam bishowab

[1] Dr. Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2009), hlm. 37-38

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template