Tulisan ini sebenernya ringkasan kuliah umum Liberalisasi Pendidikan waktu semester 2,,sayang kalau nggak di share siapa tau berguna ^^
Keberadaan globalisasi yang semakin
berkembang saat ini tidak mungkin bisa ditolak. Semua pihak, mau atau tidak, dituntut
untuk siap menghadapinya. Dampak nyata globalisasi adalah adanya westernisasi
pendidikan. Menurut Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud westernisasi pendidikan hampir terjadi di
seluruh negara Islam yang dilatarbelakangi oleh keruntuhan superioritas militer
Islam. Keruntuhan tersebut menandai pudarnya kebanggan dan kepercayaan diri
terhadap supremasi peradaban Islam. Hal
itu mengakibatkan para pemimpin Islam di Mesir (tahun 1789-1849) beranggapan
bahwa cara terbaik untuk mengatasi kekalahan umat adalah dengan melakukan
reformasi di sejumlah bidang keilmuan, yang diawali dengan reformasi di bidang
militer dan teknik, yang mengacu kepada Barat. Sayangnya, tren reformasi
pendidikan tersebut dilanjutkan oleh tokoh-tokoh reformis Islam -pengusung
modernisasi dan westernisasi pendidikan Islam- yang berasumsi bahwa umat Islam
tertinggal oleh Barat dalam bidang sains dan teknologi. Proses pem-Barat-an
Islam melalui sistem pendidikan ini masih terus berlanjut sampai saat ini dan
mungkin akan terus terjadi. Di Indonesia sendiri, westernisasi pendidikan telah
berhasil mengacak-acak ideologi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Westernisasi
pendidikan di Indonesia di pelopori oleh tokoh orientalis Belanda, Prof. Dr. Snouck
Hurgronje yang menyarankan agar pemerintah Indonesia (dulunya Hindia-Belanda)
melakukan dikotomi antara sistem pemerintahan dan pendidikan dengan agama, atau
bersifat sekuler, untuk mengantisipasi munculnya Pan-Islamisme baru yang dapat
membahayakan politik Hindia-Belanda pada waktu itu.
Dikotomi pendidikan hasil dari westernisasi pendidikan mengakibatkan banyak sekolah-sekolah negeri ataupun swasta lebih berpedoman pada Barat. Banyak lembaga pendidikan di Indonesia yang lebih bangga menggunakan kurikulum Cambridge daripada Madinah. Selain itu, lulusan dari lembaga pendidikan yang menggunakan ijazah Cambridge University lebih mudah mendapatkan pekerjaan –lebih diterima di perusahaan-perusahaan- daripada lulusan dari Madinah ataupun Mesir. Lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat TK hingga SMA berlomba-lomba untuk bisa memiliki logo IB World School (International Baccalaureate) supaya terlihat lebih mentereng. Para orang tua berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah berlogo IB daripada sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Mesir ataupun Madinah.
Menurut Prof. Dr. Syed Naquib Al
Attas westernisasi pendidikan telah menjadikan keraguan sebagai alat
epistemologi yang sah dalam keilmuan. Selain itu, westernisasi juga tidak
dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama. Westerniasasi pendidikan telah mengakibatkan pengikisan
moral serta agama yang melahirkan sikap sekuler dan skeptis terhadap kebenaran.
Selain itu, proses pem-Barat-an pendidikan telah melahirkan banyak
ilmuwan-ilmuwan atheis yang meragukan keberadaan Tuhan. Dikotomi ilmu hasil
westernisasi juga telah membuat dunia Islam berambisi memiliki
universitas-universitas sekuler ala Barat, dan membuang jauh-jauh corak
pendidikan Islam di masa lalu yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Tidak heran jika akhir-akhir ini banyak orang yang menekuni studi Islam
justru di negara-negara Barat, bukan di negara tempat ilmu-ilmu Islam muncul
seperti Mesir ataupun Madinah.
Parahnya westernisasi pendidikan di
Indonesia telah berhasil membuat perguruan tinggi Islam yang seharusnya
mencetak cendikiawan-cendekiawan muslim serta ulama justru malah melahirkan kaum
liberalis dan sekuler yang lebih menuhankan rasionalisme dan menganggap bahwa
hukum Islam harus relevan dengan zaman yang sedang berkembang. Contoh nyatanya adalah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Perguruan tinggi berlabel Islam ini ternyata sudah teracuni oleh virus
sekulerisme dan liberalisme. Banyak tenaga pengajar di UIN Syarif Hidayatullah
yang dinilai nyeleneh karena telah membuat terobosan-terobosan baru
dalam Islam, misalnya saja penerbitan buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh
9 orang tim Paramadina dan didanai The Asia Foundation yang berisi gugatan-gugatan terhadap hukum Islam. Dalam
buku tersebut aqidah tauhid, dimaknai dengan pluralisme agama, menyamakan semua
agama, dan menganggap pemeluk agama apapun asalkan sholeh akan masuk surga.
Selain itu dalam buku tersebut juga dihalalkan pernikahan lintas agama atau
pernikahan beda agama. Tim penulis Paramadina itu adalah: Nurcholish Madjid,
Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F Mas’udi, Zainun Kamal,
Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, dan Mun’im A. Sirry
(Edditor).[1]
Indonesia memerlukan institusi
pendidikan Islam yang bisa melahirkan bukan hanya sekedar
cendekiawan-cendekiawan Islam, tetapi juga ahli sains yang Islami. Seperti
ungkapan Prof. Dr. Syed Naquib Al Attas bahwa saat ini perlu diadakan
islamisasi ilmu pengetahuan. Menurut beliau ilmu yang berkembang di Barat tidak
seharusnya diterapkan di dunia Muslim. Dan manifestasi islamisasi ilmu
pengetahuan tersebut harus dimulai dari pendidikan tinggi, bukan pendidikan
dasar.
0 comments:
Post a Comment