Dakwah lebih sering diidentikkan dengan kaum Adam daripada kaum Hawa. Padahal pengembangan risalah dakwah Islam di kalangan Muslimah merupakan suatu kewajiban. Manusia diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah semata. Tugas-tugas syar’i yang dibebankan kepada laki-laki dan perempuan sama. Dalam masalah dakwah atau syiar Islam terdapat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dakwah adalah warisan dari pendahulu kita, Nabi Adam alaihi salam. Sebagai sebuah warisan tentunya dakwah harus dilestarikan, dipelihara keasliannya dengan ber-ittiba’ kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan mengajarkan dan mengamalkannya.
Kewajiban dakwah sendiri adalah kewajiban yang ditunjukkan seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai dengan ketentuan Allah kepada hamba-Nya. Dakwah bukan hanya menjadi kewajiban kaum Muslimin saja, tetapi juga bagi kaum Muslimah. Dan tentunya kewajiban dakwah bagi seorang muslimah bukan berarti mengabaikan apalagi sampai menghilangkan kewajiban yang paling utama, yaitu sebagai ibu bagi anak-anaknya, dan sebagai istri dari suaminya. Dalam berdakwah seorang Muslimah harus bisa menerapkan sikap tawazun atau seimbang antara berdakwah dan keluarga.
Dalam berdakwah seseorang tidak harus menjadi spesialis dalam masalah syariah, fukaha atau ahli fikih, dan ahli hadits terlebih dahulu. Dakwah tidak akan berjalan apabila hanya diwajibkan kepada fukaha, ahli hadits, ataupun master di bidang syariah. Padahal dakwah adalah kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah. Allah subhahu wa ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 108 :
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.“
Dakwah sendiri berasal dari kata da’aa, yad’uu, da’wah. Secara etimologi dakwah bermakna an-nidaa yang artinya panggilan atau mengajak untuk menuju kepadanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dakwah adalah penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Sedangkan berdakwah adalah mengajak (menyerukan) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama. Oleh karena itu dalam dakwah terdapat subjek atau pelaku dakwah, objek atau sasaran (hadaf), tujuan, materi, sarana (wasilah), dan metodologinya.
Peran serta seorang Muslimah sangat diperlukan dalam dakwah. Apalagi jumlah penduduk dunia lebih banyak didominasi oleh kaum Hawa. Berdakwah kepada perempuan akan lebih mengena apabila yang berdakwah adalah seorang perempuan juga. Bukan berarti kaum laki-laki lepas kewajibannya untuk mendakwahi perempuan. Hanya saja permasalahan yang dihadapi oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki berbeda, dan akan lebih nyaman apabila yang menjelaskan permasalahn-permasalahan tersebut adalah sesama perempuan. Dalam masalah fikih misalnya, wanita memiliki kekhasannya sendiri yang berbeda dengan laki-laki, yaitu masalah haidh, nifas, ataupun istihadah. Untuk masalah-masalah seperti ini, kaum wanita akan lebih nyaman mendapat penjelasan dari perempuan juga.
Di medan dakwah, tentunya seorang muslimah harus tetap memperhatikan etika-etika yang ada dalam dakwah. Menurut Mahmud Muhammad Al-Jauhari ada sepuluh etika yang harus diperhatikan seorang Muslimah dalam berdakwah, diantaranya[1] :
1. Berorientasi untuk menaati Allah dan Rasul-Nya serta mencintai kedua-Nya.
2. Berkomitmen pada adab (tata krama Islam) sebelum nilai estetika (tanggapan manusia), dan tidak menggunakan harta suami kecuali atas izinnya.
3. Perhatian istri harus terfokus pada kewajiban-kewajibannya di rumah dan perbaikan urusan kerumahtanggaan.
4. Menetapi rasa malu pada suami, diam dan mendengarkan ketika suami sedang berbicara, lalu menghormati dan menaatinya.
5. Menghormati keluarga serta kerabat suami.
6. Qana’ah atau legowo dengan rezeki yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala oleh suami.
7. Mendahulukan hak suami atas hak siapa pun setelah hak Allah dan Rasul-Nya.
8. Tidak menyebut kekayaan, kecantikan, kedudukan perempuan lain kepada suami.
9. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami.
10. Menjaga perasaan serta kehormatan suaminya.
Berdakwah bukan untuk pamer bahwa diri saya lebih tau dari kamu, ataupun ingin dihormati orang lain dan dipanggil ‘ustadzah‘. Tentunya sebelum mendakwahi orang lain kita harus mendakwahi diri kita terlebih dahulu dan keluarga kita. Dan hal yang perlu diingat adalah, seorang da‘iyah harus bisa menjadi panutan dan teladan bagi orang yang didakwahinya. Karena dalam diri seorang da‘iyah pun terdapat sarana dan media dakwah bagi dirinya. Masyarakat senantiasa melihat, mendengar, meniru, dan bahkan mengevaluasi setiap tindakan dan perilaku sampai pada batas-batas tertentu menakar pola pikir , sikap dan ekspresi kejiwaan seorang da‘iyah dalam kesehariannya. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah seorang da‘iyah menjadikan dirinya –dan segala apa yang dimilikinya- menjadi sarana dan potensi untuk meraih kesuksesan dakwah. Dan inilah bentuk ujian sekaligus ibadah bagi seorang da‘iyah.
Wallahu a‘lam bishowab
[1] Rochma Yulika dan Umar Hidayat, Untuk Muslimah yaang Tak Pernah Lelah Berdakwah, (Yogyakarta : USWAH, 2009), hlm. 64-65
0 comments:
Post a Comment