Tuesday 2 October 2012

Kisah Pak SuTa

Selalu ada hal menarik ketika mengendarai taksi. Naik taksi tapi sepi nggak ada obrolan selama perjalanan, berasa kaya naik mobil sendirian sepanjang jalan. Bedanya nggak ada orang yang nyetirin taksi  dan harus nyetir sendiri (emang bisa nyetir yak?). Setiap saya naik taksi selalu ada obrolan yang dibicarakan oleh supir taksi. Nggak heran kalau supir taksi lebih pandai berkomunikasi dengan penumpangnya dibanding dengan supir angkot atau tukang becak.
Berbagai macam obrolan dan kriteria supir taksi saya temui. Tapi supir taksi yang saya jumpai kali ini, menurut saya supir taksi terunik yang pernah saya temui. Beliau (saya lupa namanya) memiliki tiga orang anak perempuan. Kedua anaknya sudah bekerja dan sudah menamatkan studi sarjananya. Anak pertama beliau menyelesaikan studinya sebagai bidan, dan anak keduanya menyelesaikan studi di PGTK sebuah universitas swasta di kota Solo. Kabarnya anak kedua beliau adalah fresh graduate alias baru lulus. Anak ketiga pak supir taksi (selanjutnya saya sebut Pak SuTa ya biar gampang) awalnya ikut sang ibu yang bekerja sebagai penjual jamu gedong di ibukota. Tapi sekarang anak bontotnya tinggal bersama beliau di Solo.
Kebetulan kali ini saya naik taksi bersama dengan teman dan ustadz. Ceritanya kami baru pulang pelatihan Internet Business Inspiration yang diselenggarakan oleh Republika dan Telkom. Acara ini dibidani oleh sebuah community santri di dunia maya, Santri Indigo. Taksi mobil Xenia pun jadi pilihan kami. Selama perjalanan seorang ikhwan dan ustadz asyik ngobrol sama Pak SuTa. Dan saya menyimak dari belakang sambil merekam pembicaraan para kaum Adam. Bermula dari pertanyaan standar masalah dunia pertaksian dan tetek bengeknya. “Sistemnya setoran ya pak?” “Setoran seharinya berapa pak?” dan yang lebih menarik perhatian saya adalah ketika ustadz menanyakan suka duka menjadi seorang supir taksi. Yang membuat saya tertarik bak kutub utara bertemu selatan (nggak nyambung yak?) adalah jawaban Pak SuTa. Beliau menjawab hal-hal yang menjadi dukanya selama menjadi supir taksi. Pak SuTa bilang, jadi supir taksi itu serba kekurangan, kurang tidur, kurang sehat, kurang bersih, sampai kurang iman, pokoknya semuanya kurang. Beliau dalam satu hari harus menyetor 200 ribu rupiah kepada juragan taksinya.

Aaah…200 ribu mah kecil pak, gumam saya. Rahmaaa…200 ribu itu emang kecil dan mudah didapet kalau kamu tinggal minta sama ortu. Could you get it easily with your own work? Bisa jadi seratus ribu pun kamu nggak bisa dapetinnya walaupun banting tulang siang malam.  
Hal yang menurut saya perlu digaris bawahi adalah ke-kurangan iman. Pak SuTa bilang, beliau bisa kekurangan iman karena beliau jarang sholat. Ngaji pun hanya bisa dlakukan ketika libur. Misalnya pada waktu sholat Maghrib beliau kedatangan customer yang minta diantar ke bandara. Dan beliau belum sholat. Kalau misalkan Pak SuTa minta izin berhenti sebentar untuk sholat, si customer marah karena ingin cepat-cepat di antar ke bandara. Finally beliau hanya bisa mengerjakan sholat di akhir waktu Maghrib, dan itu pun kalau masih ada waktu. Kalau waktunya habis yaa kadang-kadang bablas.
Ustadz saya bilang ke Pak SuTa kalau jangan-jangan beliau kurang setoran gara-gara ninggalin sholat juga. Tapi Pak SuTa punya pendapat lain masalah kurang setorannya ini, menurut beliau rajin sholat itu nggak berpengaruh sama rezeki yang didapat seseorang.
“Gini lho Bang, Allah itu udah memberi rizki kepada setiap hamba-Nya. Yang penting pada mau nggak berusaha untuk mencari rizki itu.”
Pak SuTa juga sering ragu untuk melaksanakan sholat. I think it was unreasonable.
“Gini lho Bang, saya sering mikir, emang sholat saya bakalan diterima kalau misalkan saya kurang bersih”, ucap Pak SuTa.
“Kurang bersih gimana maksudnya Pak?”
“Yah…badan saya kan bau keringet, baju saya kotor seharian kena debu. Udah gitu supir taksi kan kalau buang air kecil sering buru-buru, jadi saya khawatir baju saya kena kotorannya,” jawab Pak SuTa.
Sepanjang perjalanan beliau terus saja mengutarakan keinginannya untuk bisa insyaf dan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Maka dari itu beliau minta kepada ustadz saya untuk mendakwahi dan mengingatkan beliau. Beliau bertanya banyak hal seputar Islam sepanjang perjalanan.  Tapi jujur, saya koq belum melihat keseriusan beliau untuk benar-benar insyaf yah. Soalnya waktu kami berhenti di sebuah masjid di daerah Karangpandan dan mengajak Pak SuTa untuk sholat, beliau cuek bebek ajah.
“Ayoo Pak kita sholat dulu”, ajak ustadz.
“Iyaa Bang,” jawab Pak SuTa. Jawaban iya ini bukan berarti mengerjakan. Buktinya ketika kami sholat Bapak asyik menghisap rokoknya sambil bertelpon ria dengan sang istri tercinta. Beliau tahu dan sadar kalau yang beliau lakukan itu salah. Tapi beliau masih merasa berat untuk mengubahnya.
Pak SuTa tidak sepenuhnya salah dengan sikap dan opini yang dimilikinya. Dan saya yakin masih banyak orang-orang awwam semisal Pak SuTa di luaran sana. Para orang-orang yang sibuk bekerja siang-malam banting tulang sampai kaki di kepala atau kepala di kaki. Mereka yang harus bertarung melawan pahitnya dunia yang mereka alami, dikejar-kejar setoran. Belum lagi harus memikirkan anak-anak yang harus mendapatkan pendidikan lebih baik dari mereka untuk kehidupan yang lebih baik pula. Asap dapur yang harus tetap mengepul, tagihan listrik, air dan hal-hal lainnya dalam kehidupan mereka.
Jujur saya tidak setuju dengan sikap dan opini yang diutarakan Pak SuTa atau orang-orang sejenis beliau. Tapi kita tidak bisa begitu saja menyalahkan mereka tanpa membimbing mereka. Saya jamin kalau ada orang yang langsung menganggap mereka salah dan hanya bisa menyalahkan tanpa meberi solusi, mereka akan semakin jauh dengan Islaum. Yang mereka butuhkan adalah orang yang bisa mengingatkan dan membimbing mereka untuk bisa ber-Islam dengan lebih baik. Mereka butuh seseorang yang bisa mendakwahi mereka untuk istiqomah mengerjakan sholat. Mereka butuh seorang da’i yang bisa meyakinkan mereka bahwa rizki itu urusan Allah, dan usaha mereka mati-matian untuk mencari rizki itu tidak cukup tanpa campur tangan Allah.
Pak SuTa butuh bimbingan, bukan penyalahan. Pak SuTa butuh tuntunan bukan penghukuman. Yang Pak SuTa butuh didekati oleh orang-orang yang lebih mafhum masalah agama, bukannya malah dijauhi. Dan cara mendakwahi yang tepat adalah dengan hikmah dan mauizhotil hasanah. seperti yang Allah ajarkan dalam surat an-Nahl ayat 125. Nah….kalau udah didakwahi dan diperingati sesuai surat an-Nahl ayat 125 tapi masih nggak berubah dan belum ada keinginan untuk berubah, berarti yang salah personal yang didakwahinya. Naudzubillah kalau Allah sudah sampai menutup hatinya dan menjadikan batunya sekeras batu hingga tak bisa lagi menerima kebenaran. Wal iyadzu billah.

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template