Monday 21 November 2011

Barometer Sebuah Nilai

Nilai, sebuah kata yang terdiri dari lima huruf diawali dengan huruf N dan diakhiri dengan huruf I. Nilai, satu kata yang memiliki banyak makna. Baik dalam ukuran harga suatu barang, angka kepandaian, banyak sedikitnya isi suatu zat, sifat-sifat penting yang berguna bagi kemanusiaan, ataupun sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Perkembangan zaman yang makin maju membuat standardisasi penilaian pun meningkat di mata para pecinta dunia. Ya, karena yang dijadikan standar adalah standar penilaian manusia yang selalu berubah seiring dengan waktu yang terus berjalan.

Realitas yang ada saat ini, setiap orang berlomba-lomba untuk mendapatkan penilaian setinggi-tingginya di mata masyarakat. Ada orang yang merubah gaya penampilannya mengikuti trend yang sedang in supaya tidak dinilai sebagai orang yang kuper atau katrok. Rambutnya diwarnai merah, kuning, hijau bak pelangi. Membeli baju baru tiap bulannya mengikuti fashion terbaru yang keluar. Gadget pegangan baik handphone ataupun komputer jinjing diganti setiap ada produk baru yang keluar, agar dinilai canggih. Semua itu dilakukan hanya untuk mencari ‘identitas’ semata agar lebih dikenal dan disegani oleh orang lain.
Dunia ini hanyalah sebuah panggung sandiwara di mana sebagian orang berperan sebagai aktor dalam panggung sandiwara tersebut dan orang lainnya berperan sebagai penonton. Untuk menjadi seorang aktor yang baik tentunya dibutuhkan rasa percaya diri yang tinggi dan tidak terlalu memperdulikan opini-opini penonton yang hanya bisa berkomentar saja dan bisa mengurangi rasa percaya diri. Begitu juga dengan kehidupan di dunia ini. Banyak orang yang lebih mengutamakan penilaian dari manusia yang notabene hanyalah makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menggubris nilai dirinya di mata Allah.
Ada kisah yang penuh hikmah tentang seorang bapak yang berencana menjual keledainya ke pasar bersama anaknya. Ketika anak dan bapak itu berjalan beriringan bersama keledainya hendak meninggalkan rumah, ada tetangganya yang berkata “Kenapa kalian harus berjalan padahal kalian memiliki keledai? Bukankah lebih apabila salah satu dari kalian naik dan yang lainnya yang menggiring keledai tersebut.“ Sang bapak mengiyakan dan menaikkan anakya ke atas punggung keledai, lalu ia berjalan menggiring keledai yang ditumpangi oleh anaknya tersebut. Setelah hampir setengah perjalanan menuju pasar mereka bertemu dengan tiga orang wanita yang berdiri di pinggir jalan dan berkata kepada si anak yang duduk di atas keledai, “Kamu harusnya malu kepada dirimu yang telah membiarkan ayahmu berjalan sementara kamu naik keledai. Apakah keledai itu terlalu lemah hingga tidak dapat membawa kalian berdua?“ “Sepertinya kamu benar, kalau begitu saya akan naik ke atas keledai di belakangmu“, ujar sang bapak. Dan akhirnya bapak dan anak tersebut sama-sama mengendarai keledainya. Kemudian ketika mereka hampir mendekati pasar mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang menertawai mereka. Salah satu laki-laki dari mereka mengatakan “Harusnya kalian yang membawa keledai malang yang berbadan kecil dan ringkih itu bukannya malah menungganginya.“ “Ya, saya rasa begitu“, jawab si bapak. Dan akhirnya bapak dan anak itu turun dari keledainya. Lalu dengan bantuan sekumpulan orang yang masih tertawa tadi, mereka mengikat keledainya pada sebuah galah, lalu membawanya di sisa perjalanan menuju pasar. Namun ketika mereka melewati jembatan sebelum pasar, keledai yang mereka bawa menendang-nendang hingga tali yang mengikatnya lepas. Dan khirnya keledai tersebut jatuh ke sungai di bawah jembatan lalu tenggelam. Sang bapak pun berkata “Keledai kita sekarang mati. Kejadian ini mengajarkan kita bahwa kapanpun kita mencoba untuk mengikuti omongan orang, kita akan kalah.
Melihat contoh di atas, apabila kita terus mengikuti apa yang diakatakan orang dan penilaian orang tentu tidak ada hentinya dan hanya akan melelahkan diri sendiri. Syukur-syukur kalau tidak berujung stress dan depresi gara-gara menuruti penilaian orang lain. Begitu juga dalam berdakwah. Dalam berdakwah yang dijadikan standar penilaian adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Banyak da’i yang hanya mengandalkan opini publik agar bisa tetap ‘eksis’ dalam berdakwah dan memiliki banyak penggemar. Ketika berdakwah materi yang disampaikan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tidak terlihat ekstrim. Dan akhirnya da’i tersebut bisa ‘survive‘ dalam dakwah modernnya dan tidak dinilai sebagai ekstrimis dan tentunya tetap memiliki banyak penggemar. Parahnya lagi ada juru dakwah yang justru malah membelokkan nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunnah demi mendapat identitas sebagai ‘ustadz gaul‘. Padahal sebagai seorang juru dakwah harusnya bisa mengajak orang yang didakwahinya kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tasyabbuh kepada akhlak Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukannya malah terbalik, ustadznya yang tasyabbuh kepada jamaahnya. Kunci utama supaya seorang juru dakwah bisa tetap eksis dan jamaahnya tasyabbuh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah PD alias percaya diri. Apabila seorang juru dakwah percaya diri dengan standar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak ragu-ragu untuk menyampaikannya kepada jamaahnya, Insya Allah jamaahnya akan tasyabbuh mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Saudaraku apabila kita hidup di dunia ini hanya menggunakan barometer penilaian dari Allah subhanallahu wa ta’ala maka hidup kita akan menjadi bahagia dan tentram. Sebaliknya apabila kita menggunakan barometer penilaian dari manusia maka hidup kita akan menjadi sempit dan selalu merasa kekurangan. Maka marilah kita menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai standar kita dalam meniti kehidupan. Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan dalam buku fenomenalnya Tafsir Fî Zhilalil Qur’an, “Tetapkanlah standar menggunakan standar Allah.“ Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah naungan yang terbaik.
Wallahu a’lam bishowab

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template