Saya akui, memang bergaul dan berkomunikasi dengan anak-anak memang mengasyikkan dan nggak bikin stress. Setiap ada acara kampus yang menbgharuskan kita berbaur dengan warga sekitar, saya memilih komunitas anak kecil. Saya rasa bukan hanya saya yang menyukai anak kecil, tetapi hampir semua orang di dunia ini menyukai yang namanya anak-anak. Mengapa demikian? Kalau menurut ayah saya alasan kenapa banyak orang yang menyukai anak kecil adalah kejujuran dan kepolosan mereka. Pada hakikatnya semua orang di dunia ini menyukai dan mendambakan sebuah kejujuran, sekalipun orang itu adalah pendusta dan selalu berbuat curang. Dalam diri seorang anak biasanya kita temukan kejujuran tersebut dibalik sifatnya yang polos dan apa adanya. Saya rasa ucapan ayah saya ada benarnya. Maklum bagi saya ayah saya adalah orang paling bijak sedunia ^^ I Love you Mom and Dad ^^
Eniwei saya di sini nggak mau ngomongin masalah psikologi anak karena saya masih belum memiliki banyak ilmu tentang masalah psikologi dan masih minim pengalaman. Saya merasa dipermalukan oleh seorang anak kecil dengan omongannya yang polos dan asal ceplos. Omongan itu justru mengingatkan saya dan menyadarkan saya dari kekhilafan. Suatu hari saya diberi amanah untuk menyimak murajaah hafalan juz 30 dua anak laki-laki ustadz saya. Hadfi dan Idris namanya. Saya menerima dengan senang hati amanah yang diberikan kepada saya tersebut, karena saya memang menyukai dunia anak-anak (kadang-kadang masih ketularan jiwa kanak-kananknya,,hehehe). Dan amanah itu adalah cara saya merefresh pikiran dari kepenatan kuliah, organisasi, dan hal-hal lainnya.
Tugas saya hanyalah menyimak hafalan Hadfi dan Idris dan membenarkan apabila ada yang salah lalu memberi nilai A bila hafalannya lancar, B apabila lancar dengan sedikit bantuan, dan C apabila tidak lancar dan banyak salah. Baik Hadfi ataupun Idris memiliki kemampuan hafalan yang baik. Hafalan juz 30 Hadfi sudah sampai surat Al-A’la sedangkan Idris sampai Ad-Dhuha. Saya akui Idris memang lebih unggul dari Hadfi, kakanya. Tapi Idris meniru kakaknya dan belajar dari kakaknya. Idris selalu memperhatikan dan meniru kakaknya. Ketika kakaknya menghapal, dia mendengarkan dan langsung bisa mengikutinya, walaupun sebenarnya dia hanya meniru saja. Ketika Hadfi menghapal surat Al-Lail, Idris mengikutinya walaupun hapalan dia baru sampai Ad-Dhuha tetapi dia bisa mengikuti hapalan Hadfi karena sering meniru dan mendengarkan anaknya. Yang membuat saya merasa malu adalah, ketika saya menyimak hafalan Idris setelah Hadfi. Nilai Hadfi yang ada di buku mutabaah (buku buku penilaian hafalan) mereka berdua banyak terdapat A dan ada beberapa yang B. Setelah melihat nilai tersebut, Idris berkata “Wah mas Hadfi banyak A-nya, saya juga mau A semua nilainya. Nggak kaya mas Hadfi yang masih ada B-nya.” Tercium jiwa persaingan dari ucapan polos Idris. Lalu ketika saya minta Idris menghafal surat Al-Ma’un, Idris berpikir lama bagaimanakah awal surat Al-Ma’un itu. Lalu dia menyerah karena tidak juga menemukan awal dari surat Al-Ma’un dan akhirnya meminta saya memberitahunya. setelah saya memberitahunya Idris langsung melantukan surat Al-Ma’un dengan gaya khas ngaji anak-anak. Setelah selesai membaca dan saya berniat memberi nilai, dia mengatakan kepada saya untuk memberinya nilai B. Padahal saya bermaksuda memberinya nilai A karena hafalannya lancar walaupun harus diberitahu ayat pertama surat Al-Ma’un. Saya pikir dia akan meminta saya menulis huruf A di kolom mutabaahnya. Subhanallah, saya terkesima dengan keluguannya. Walaupun Idris bersaing dengan Hadfi, dia masih mengenal apa itu fair. Dia tidak memaksa saya untuk memberinya nilai A walaupun kesalahannya bukanlah kesalahan yang besar dan Idris pantas mendapat nilai A menurut saya. Idris merasa dirinya belum memenuhi klasifikasi untuk mendapatkan nilai A. Berbeda dengan saya yang terkadang memohon musyrifah tahfizh memberikan tambahan nilai ketika ujian tahfizh dan hafalan saya kurang lancar,,hehehhe (tenang aja, coz permohonan saya tidak dikabulkan :D). Astaghfirullah, saya ternyata masih kalah dari Idris. Saya belum bisa mengakui dan menyadari sebatas mana potensi yang saya miliki dan masih belum bisa berpikir apakah saya pantas mendapatkan nilai yang baik dengan usaha saya? Kelakuan Idris sangatlah berbeda dengan orang-orang dewasa yang berusaha menyogok sana-sini untuk mendapatkan gelar yang prestisius, walaupun sebenarnya kemampuan mereka belum memasuki kualifikasi dan standardisasi gelar yang mereka terima.
Dan ketika saya ingin pulang, giliran Hadfi yang mengajari saya sebuah nilai berharga dalam hidup. Saya biasa memotivasi mereka dengan memberi hadiah. Saya biasa memberikan hadiah berupa jajanan khas anak-anak seperti coklat dan snack-snack. Sebenarnya saya berencana memberi alat-alat tulis atau barang-barang lainnya yang lebih bermanfaat daripada makanan, tapi di sekitar asrama saya tidak ada toko yang berjualan barang-barang seperti itu dan hanya ada jajanan anak-anak. Bila hafalan Hadfi dan Idris lancar, saya akan memberikan mereka hadiah jajanan yang saya bawa. Suatu hari ketika saya bermaksud memberi mereka hadiah, tiba-tiba Hadfi berkata, “Kata abi nggak usah dikasih hadiah lagi kak. Hadiahnya nanti aja dari abi kalau hafalannya sudah bagus dan lancar.” Menurut saya hafalan Hadfi dan Idris lancar dan layak mendapat hadiah. Sama seperti Idris, Hadfi merasa dirinya belum layak untuk menerima hadiah. Berbeda dengan orang-orang dewasa yang selalu mengharapkan menerima hadiah tanpa mengupayakan dirinya menjadi orang yang layak menerima hadiah tersebut (dalam sebuah kompetisi). Bukan hanya itu. Ketika saya hendak pulang Hadfi memaksa saya untuk menerima sebuah apel yang dia berikan. Sya bilang, “Apelnya buat mas Hadfi saja.” Tapi dia malah berkata, “Nggak ini buat mbak ayu aja”. (hahahhaha…awalnya saya dipanggil mbak ayu atau mbak cantik sama mereka.Saya sendiri tidak tahu asal-usul mereka memanggil saya seperti itu. Tapi sekarang uminya mengajarkan mereka untuk memanggil dengan nama saya. Yah…walaupun terkadang mereka masih memanggil saya dengan mbak ayu atau mbak cantik..:D) Hadfi masih menerapkan prinsip tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dia masih ingin berbagi dengan orang lain walaupun sebenernya dia menginginkan apel itu. Sedangkan banyak orang dewasa saat ini yang lebih bahagia menerima sesuatu daripada memberi.
Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari anak-anak. Kepolosan dan keluguannya menghibur diri dikala jenuh dengan kehidupan orang dewasa yang mulai banyak dihiasi dengan dusta dan kebohongan. ^^
Wallahu a’lam bishowab
*Tulisan ini saya buat di saat mata kuliah Ulumul Hadits. Dosennya malah cerita sih. Yasudh lah saya ngeblog ajah…hehehe^^
0 comments:
Post a Comment