Thursday 8 December 2011

Catper I

Ini catatan perjalanan pertama di blog ini.
Sudah lama rasanya tidak merasakan panasnya udara Karangnyar yang sudah mulai dipenuhi dengan polusi asap-asap kendaraan bermotor dari mulai yang beroda dua sampai beroda delapan. Kebetulan hari ini adalah hari Jum’at, 2 Desember 2011 (kampus saya liburnya hari Jum’at mengikuti negara Timur Tengah, dan sepertinya hari Jum’at memang adalah hari spesialnya umat Islam). Setiap hari Jum’at di pusat kabupaten Karanganyar biasanya diramaikan oleh “Pasar Jum’at”. Pasar semacam pasar kaget yang hanya ada di hari Jum’at. Sebenarnya terbersit niat untuk singgah mellihat-melihat sebentar di Pasar Jum’at, tapi berhubung bukan itu tujuan saya hari ini, jadi saya hanya mampir di ATM Mandiri dekat pasar Jum’at. I’ve plan to go to dentist today. Niatnya sih mau tambal gigi sekalian skaling. Saya mencari dokter gigi yang pas sama kantong mahasiswa (hohohoho…maklum pake uang jajan sendiri dan belum bilang sama ortu).
Yasudah saya pergi ke dentist di Puskesmas Jaten -masih di daerah Karanganyar-. Saya baru tau kalau yang bisa berobat di Puskesmas itu cuma warga yang berdomisili di daerah Jaten aja. Sedangkan saya hanyalah seorang perantau. Dan akhirnya saya diangkat anak sasma Uminya temen saya dalam beberapa jam hanya untuk bisa berobat…hehehe. Identitas saya di Puskesmas itu pake identitas adeknya temen saya. Uminya temen saya bilang :”Entar kalau ditanya bilang aja anak saya nomor dua, adeknya dia (sambil nunjuk temen saya)”. Bwahahahhaha….ngekek saya ngedengernya, kalau ibu saya tau gimana ya? Eniwei tak apalah, saya ke dokter gigi aja gak bilang. Jujur, ini pertama kalinya saya berobat ke tempat yang namanya puskesmas alias pusat kesehatan masyarakat. Dulu waktu mau masuk SMA pernah sih ke puskesmas, tapi bukan buat berobat cuma buat ngurus surat keterangan sehat buat masuk SMA yang masuknya susah banget. Saya katro banget pertama kali berobat di puskesmas. Takjub ngeliat apa-apa yang ada di puskesmas. Sebenernya biasa aja sih sama kaya di rumah sakit, cuma takjub aja ngeliat ruang tunggu yang lebih kecil, di tambah apotiknya yang minimalis, ruang praktek dokter yang imut, dan peralatan yang serba sederhana. Maklum dari kecil saya biasa berobat di sebuah rumah sakit yang perlengkepannya lengkap, ruang praktek dokternya luas, apotiknya juga memadai, ber-AC pula. Maklum rumah sakit itu masih dibawah Krakatau juga kayanya mah, abis namanya juga ada krakataunya juga sih (sotoy.com). Alhamdulillah my dad get the facilities from his factory, include health allowance.
Oke balik lagi ke puskesmas. Pemandangan yang saya lihat antara rumah sakit dan puskesmas sungguh berbeda. Ketika saya berobat ke rumah sakit, penampilan pengunjung atau pasiennya hedonis banget dari mulai remaja, ibu-ibunya, bapak-bapaknya, manulanya juga. Mungkin pengaruh lifestyle di kota metropolitan kali ya. Pokoknya mah setiap orang yang saya jumpai di rumah sakit nggak ada yang pakai baju yang biasa dipakai sehari-hari di rumah dan saya belum pernah menemukan yang sendal jepitan. Beda banget sama di puskesmas. Yang saya  jumpai di puskesmas, pasiennya sendal jepitan, bajunya juga seadanya kaya baju yang dipakai sehari-hari di rumah. Ada satu pasien yang bermobil lumayan kece juga pakaiannya biasa aja. Terus mereka pada cuek bebek, kagak peduli orang mau ngomong apa. Adalagi yang bikin hati saya kaya gado-gado, antara miris, trenyuh, senang, laper, sama apa lagi dah tau jadi satu. Memang beberapa pasien yang saya jumpai di puskesmas ini sepertinya dari golongan menengah yang bukan ke atas. Ada seorang kakek yang kesehatannya menurun di usia senjanya datang ke puskesmas di temani oleh anaknya. Penampilanya sungguh amat sederhana, menggunakan kaos lengan pendek dan celana 3/4 dilengkapi dengan sarung yang beliau gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang menggigil plus sepasang sandal jepit bertali hijau. Melihat kakek itu mengingatkan saya dengan almarhum kakek saya yang penampilannya serupa.
Selain orang yang berpenampilan sederhana di puskesmas itu, ada juga yang berpenampilan parlente. Yah..namanya juga pusat kesehatan masyarakat. Berobat di puskesmas harganya terjangkau dan tidak mahal seperti di rumah sakit. Semua pasien yang datang pasti langsung di tangani. Berbeda dengan rumah sakit –nggak semuanya lho-, yang terkadang ada pasien yang tidak dilayani hanya karena menggunakan askes. Saya ingat waktu itu saya pernah di rawat di rumah sakit milik sebuah organisasi Islam yang berbasis di daerah Jawa Tengah yang berada di daerah Karanganyar. Alhamdulillah, saya sempat mencicipi tidur di bangsal yang hanya cukup untuk satu tempat tidur, sebuah meja kecil, sebuah kursi untuk penunggu pasien, berdinding triplek, dan memiliki daya tampung tidak lebih dari 5 orang. Saya belum tau kalau kamar kelas 1 itu fasilitasnya seperti itu, beda dengan rumah sakit langganan saya yang walaupun kelas satu tapi ber-AC dan kamar mandinya di dalam kamar. Ceritanya saya salah pilih kamar. Lagipula orang tua saya yang biasa ngurusin administrasi belum dateng, maklum anak rantau. Setelah ayah saya dateng saya dipindah kamar ke kamar kelas 2 yang berisi satu orang, kamar mandi di dalam, dan kamarnya lebih luas.
Saya heran, pelayanan yang saya dapat di kamar  2 berbeda sekali dengan kamar kelas 1. Waktu di kamar kelas 1 ada menu makan opor ayam. Tapi ayamnya di potong dadu kecil dan hanya ada 4 biji kalau tidak salah. Sedangkan waktu saya berada di kelas 2 ayamnya lebih besar dan nggak dipotong dadu kaya di kelas 1. Perawat yang di kelas 2 lebih ramah dari perawat di kelas 1. Yang paling miris bin tragis adalah cerita dari ayah saya. Jadi ayah saya berniat membeli makanan di belakang rumah sakit. Di dekat ruang perawatan kelas 1 ada keributan kecil. Ada seorang keluarga pasien meminta tas berisi peralatan mandi (yang isinya sikat gigi, pasta gigi, waslap, handuk kecil, dan sabun batang kecil) yang umumnya di berikan kepada semua pasien di rumah sakit tersebut. Pasien tersebut berobat menggunakan gakin. Keluarga pasien tersebut meminta dengan bahasa jawa yang halu kepada perawat yang menjaga di bangsal kelas 1. Tapi perawat yang menjaga malah mengatakan :”Sampeyan pasien gakin kan, buat pasien gakin nggak dapet begitu –perlengkapan mandi-.Kalau mau ya beli sendiri” dengan nada yang cukup tinggi. Mendengar cerita itu bikin geram. Masa di rumah skait Islam bisa terjadi hal seperti itu. Teramat sangat memalukan Islam. Bukan hanya itu, visitasi dokter yang didapat antara pasien yang berada di bangsal kelas 1 dan kelas 2 juga VIP berbeda. Koq bisa ya di rumah sakit Islam kaya gitu? Saya jadi merasa malu sebagai seorang muslim.
Itu hanyalah salah satu potret rumah sakit yang ada di Indonesia. Membandingkan dengan pelayanan yang ada di puskesmas nampaknya lebih baik. Para pegawai baik dokter, perawat, bidan, atau apotekernya ramah-ramah. Di puskesmas yang saya kunjungi di daerah Jaten, dokternya ramah-ramah. Bukan hanya itu, mereka melayani masyarakat dengan sepenuh hati tidak membedakan mana yang berduit dan mana yang tidak. Wallahu a’lam apakah di puskesmas lain seperti itu juga. Semoga seperti itu. Saya rasa jika anggaran dana kesehatan negara jika tidak di korupsi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, puskesmas di Indonesia tidak kalah jauh dengan rumah sakit. Perlengkapannya juga bisa dilengkapi dan dicanggihkan. Fasilitasnya juga bisa lebih baik lagi. Tapi sayang, tikus-tikus masih banyak berkeliaran di negara ini. Wallahu ‘alam.

1 comments:

  1. apapun kalo sudah masuk ke ranah bisnis,jadinya ya seperti itu.sekolah,rumah sakit.universitas de el el.nggak lancar klo nggak ada uang.....

    ReplyDelete

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template