“Padahal saya rajin belajar. Otak saya juga encer. Orang bilang saya jenius. Tapi koq saya nggak pernah dapet peringkat pertama ya?”, ucap Fathin.
Fathin memang anak yang jenius. Dia juga rajin belajar. Berbagai perlombaan di bidang Fisika tingkat propinsi selalu dia menangkan. Bukan hanya itu, ia juga mahir dalam semua mata pelajaran. Tapi mengapa dia tidak pernah mendapat peringkat pertama?
Guru-guru Fathin pun mengakui kepandaian Fathin. Tapi setelah diteliti, ternyata Fathin belum bisa menghargai gurunya. Misalnya saja ketika guru Fisika mengajar, Fathin lebih senang belajar sendiri di tempat duduknya daripada memperhatikan gurunya yang bercuap-cuap di depan kelas. Fathin merasa bahwa gurunya belum terlalu paham dengan rumus-rumus Fisika. Setiap Fathin bertanya kepada guru itu, dia tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Maka tak heran jika Fathin tidak pernah menduduki peringkat pertama di kelasnya. Bukan hanya itu, ketika ada teman yang minta dijelaskan pemencahan soal Fisika, Fathin kurang bisa menjelaskannya dengan baik. Karena Fathin kurang memiliki adab sebagai penuntut ilmu. Sehingga ilmu yang Fathin miliki hanya bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri. Mengapa begitu?
Dalam menuntut ilmu ada adab-adab yang harus dijaga supaya ilmu yang dipelajari dapat bermanfaat dan berbarokah. Islam agama yang syumul mengajarkan adab-adab menuntut ilmu tersebut. Dalam syarh kitab Hilyatut Tholabu Al-‘Ilmi karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin disebutkan adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu supaya bisa ber-istifadhah dengan ilmunya. Baik itu adab penuntut ilmu kepada gurunya ataupun adab yang harus ia miliki ketika menuntut ilmu.
Adapun adab yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu adalah :
1. Berilmu dalam masalah agama. Yang paling utama dimiliki oleh seorang penuntut ilmu adalah ilmu agama. Karena ilmu agama sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk lebih mengenali siapa penciptanya dan tugasnya di muka bumi ini hanya sebagai khalifah yang harus beribadah kepada Sang Kholiq. Terutama ilmu syar’i.
2. Menjadi salafush sholih sholih sejati. Maksudnya adalah banyak orang yang mencoba meniru cara belajar para ulama tapi tidak bisa mengikuti sepenuhnya. Karena kebanyakan orang yang meniru cara belajar para shalafush sholih kurang berungguh-sungguh.
3. Harus memiliki perasaan takut kepada Allah. Dengan perasaan takut kepada Allah, penuntut ilmu akan selalu terjaga dari perbuatan maksiat dan ilmunya tidak akan berkurang atau terlupa.
4. Selalu merasa di awasi oleh Allah.
5. Bersikap tawadhu’ dan rendah hati.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu terhadap gurunya adalah :
1. Menjaga kehormatan asatidz. Yang dimaksud asatidz atau guru disini bukan hanya guru yang mengajar di kelas saja. Musyrif atau penyimak tahfizh juga termasuk di dalamnya, bagi orang yang menghapal Al-Qur’an. Menjaga kehormatannya dengan menjaga aibnya dan tidak menjelek-jelekkannya di depan orang lain.
2. Menjadikan guru sebagai orang yang paling dihormati dan dihargai walaupun ada sifat guru tersebut yang tidak disukai atau kurang berkenan di hati.
3. Bersifat lemah lembut terhadap guru, sekalipun sedang bermasalah dengan guru tersebut.
4. Duduk dengan sopan ketika bersama guru supaya mendapatkan keberkahan ilmu (ilmu yang bermanfaat). Ada orang yang punya ilmu banyak, tapi karena dia tidak menjaga sopan santun terhadap gurunya, maka ilmunya menjadi kurang bermanfaat dan kurang bisa diamalkan. Ilmu yang dia miliki hanya sampai di otak saja, belum merasuk sampai ke hati.
5. Beradab ketika membuka lembaran-lembaran kitab. Buku adalah sumber ilmu. Dengan membuka lembaran-lembaran buku, berarti sama saja dengan menghargai ilmu. Membuka lembaran kitab secara hati-hati dengan maksud menjaga buku tidak rusak dan memelihara kebersihan kitab.
6. Beradab ketika berbicara dengan guru. Ketika berbicara dengan guru harus menggunakan bahasa yang sopan dan santun serta lemah lembut.
7. Meninggalkan banyak bicara dan debat. Mencoba menguji kemampuan guru dengan mengajaknya berdebat kusir (debat yang tidak ada solusinya hanya adu argumen).
8. Tidak mendahului guru dalam berbicara atau memotong pembicaraan guru.
9. Tidak mendahului guru dalam berjalan. Dan ini merupakan tata krama umum. Ketika berjalan dan berpapasan dengan guru, alangkah lebih baik apabila mempersilakan gurunya untuk jalan terlebih dahulu. Begitu juga apabila berjalan bersama dengan orang yang lebih tua.
10. Ikut campur dalam pembicaraan guru. Misalnya ketika Adzka selesai tasmi’, musyrifah tahfizhnya berbicara dengan musyrifah tahfizh kelompok lain tentang harga cabai. Lalu si Adzka ikut nimbrung :”Harga cabai di toko A lebih murah lho ustadzah!”
11. Menjauhi banyak bertanya (kecuali untuk hal yang memang sangat diperlukan), karena dapat menjadikan berbangga diri. Tidak boleh juga menanyakan sesuatu yang tidak perlu atau menanyakan suatu hal yang masih dalam pengandaian dan belum pernah terjadi.
12. Hendaknya dia memperlakukan atau menganggap gurunya bukan hanya sebagai pengajar dan tetapi juga murabbi atau pembimbing. Seorang guru yang sekaligus murabbi bukan hanya sekedar mengajarkan ilmu, tapi juga memantau akhlak anak didiknya.
13. Tidak boleh meremehkan atau meragukan keilmuan pengajar. Kalau kita meremehkan ilmu guru, maka kita tidak akan bisa ber-istifadhah terhadap ilmu yang beliau ajarkan. Hal ini sama dengan apa yang dialami oleh Fathin.
14. Menghargai dan menyimak guru ketika sedang menjelaskan pelajaran. Adnan asyik membaca novel ketika gurunya sedang menjelaskan pelajaran. Tak heran apabila Adnan tidak memahami apa yang gurunya jelaskan.
Itulah beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang tholibul ‘ilmi atau penuntut ilmu. Selain itu, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam tholibul ‘ilmi. Khususnya dalam ilmu syar’i. akan lebih baik belajar ilmu syar‘i langsung dari masayikh supaya aman dari ketergelinciran dan paham-paham yang tidak sesuai dengan aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Apabila seorang penuntut ilmu telah beradab terhadap gurunya, Insya Allah bukan hanya ilmunya saja yang bermanfaat. Orang itu juga minimal akan mendapatkan do’a dari gurunya atau syeikh. Apalagi ketika mulazamah (belajar langsung dari masayikh dengan menalaah kitab-kitab) dengan syeikh. Biasanya seorang syeikh di setiap pelajarannya selalu mendo’akan murid yang bermulazamah dengannya. Walaupun murid tersebut tidak dikenalnya.
Jikalau kita merasa kita belum bisa ber-istifadhah dengan ilmu yang kita miliki, maka alangkah baiknya apabila kita bermuhasabah lagi. Apakah kita sudah beradab sebagai seorang penuntut ilmu? Mari kita perbaiki adab kita sebagai penuntut ilmu supaya ilmu kita menjadi barakah.
Wallahu a’lam bishowab
0 comments:
Post a Comment