Di postingan sebelumnya kita
sudah membahas keutamaan orang berilmu dan mengapa kita harus menjadi orang
berilmu. Insya Allah pada postingan kali ini kita akan membahas etika yang
harus dimiliki oleh seorang pencari ilmu dalam mencari ilmu. Masih diambil dari
sumber yang sama Aadab Thoolibul ‘Ilmi-nya Syeikh Anas Ahmad Karzoun (kebetulan
saya lagi mereview kitab ini di kuliah).
Buat yang belum tau, etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlaq). Ini kata KBBI. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
sang guru terhebat pun mengajarkan etika sebelum ilmu. Dan metode ini juga
diikuti oleh para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu ajmaiin.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in melakukan hal yang sama, mendahulukan pengajaran etika sebelum ilmu. Teringat juga akan kisah Malik bin Anas ketika disuruh ibunya untuk berguru kepada Rabi’ah. Ibunya meminta Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu untuk mempelajari etika sebelum mempelajari ilmu. Mengapa etika harus didahulukan sebelum ilmu?
Tidak hanya berhenti sampai di situ, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in melakukan hal yang sama, mendahulukan pengajaran etika sebelum ilmu. Teringat juga akan kisah Malik bin Anas ketika disuruh ibunya untuk berguru kepada Rabi’ah. Ibunya meminta Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu untuk mempelajari etika sebelum mempelajari ilmu. Mengapa etika harus didahulukan sebelum ilmu?
Etika mengarahkan para penuntut
ilmu kepada sesuatu yang harus dijaga. Baik itu akhlaq, etika terhadap diri
sendiri, keluarga, guru, teman dan orang-orang di sekitar. Oleh karena itu
pengajaran etika ini tidak dapat dipisahkan dari pengajaran ilmu. Ilmu apapun. Entah
itu ilmu kedokteran, fisika, kimia, fiqh, hadits, qur’an dan disiplin ilmu
lainnya. Belajar menjadi seorang peretas pun ada etikanya. Dalam bukunya Hacking
for Dummies, Kevin Beaver memulai tulisannya dengan bab Building the
Foundation for Ethical Hacking. Belajar menjadi seorang jurnalis juga ada
kode etik yang harus diketahui.
Ibnu Syihab berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah etika Allah yang telah diajarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada umat beliau. Ilmu juga merupakan amanat Allah kepada Rasul-Nya agar disampaikan apa adanya. Maka barangsiapa yang mendengar suatu ilmu, maka hendaklah ia meletakkannya di depannya sebagai hujjah antara dirinya dan Allah. (Dapat dibaca dalam al-Jami’ li Akhlaaqi ar-Raawii wa Aadaabi as-Sami’ milik Khotib al-Baghdadi)
Kembali ke tema, dalam buku Adaab
Thoolibul ‘Ilmi milik Dr. Anas Ahmad Karzoun, atau yang dalam bahasa
Indonesianya Etika Pencari Ilmu, disebutkan tiga belas etika yang harus
dimiliki oleh penuntut ilmu. Tapi pada postingan kali ini, penulis hanya akan
menyebutkan beberapa etika saja. Insya Allah pada postingan berikutnya akan
dilanjutkan.
Adab yang pertama adalah Ikhlas.
Ini merupakan hal pertama yang wajib dimiliki oleh seorang penuntut ilmu.
Ikhlas adalah sebab sebuah amal diterima Allah. Dalam hadits ‘arbain, riyadhus
shalihin, umdatul ahkam dan kitab-kitab hadits lain dimulai dengan bab
ikhlas. Bahkan haditsnya sangat masyhur dan banyak dihafal oleh ummat Islam. Apalagi
kalau bukan hadits tentang niat.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا،
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya amal itu
tergantung pada niat, dan setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan.
Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (ia akan
mendapatkan) pahala hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ia kejar atau wanita yang hendak ia nikahi, maka ia
hanya akan mendapatkan sesuai niat hijrahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini mengisahkan tentang
seorang sahabiyah bernama Ummu Qais. Imam ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu’jam
al-Kabir, bahwasanya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata : “Di
antara kami ada seorang lelaki melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun,
wanita ini menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut
ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu
Qais.”
Para ulama bersepakat bahwa
perbuatan seorang Muslim tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala
kecuali jika diiringi dengan niat. Allah berkalam dalam surat al-Bayyinah ayat
5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Bila penuntut ilmu mengikhlaskan
amalnya lillahi ta’ala, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar,
usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh
Allah berikan kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka.
Namun, bila keikhlasan hilang dari dirinya dan ia terasuki noda-noda riya’,
serta tujuan menuntut ilmunya adalah untuk berdebat, popularitas, mengejar
pangkat dan jabatan tengah-tengah manusia, maka ilmu tersebut akan menjadi
bukti keburukannya pada hari kiamat. Wal iyadzu billah.
Betewe ikhlas itu apaan
sih? Dari tadi ngalor ngidul ngomongin ikhlas, tapi kita belum
tahu apa makna ikhlas itu sendiri. Imam Ibnul Qayyim memaknai ikhlas dengan
mengesakan Allah di dalam tujuan atau keingimnan ketika melakukan ketaatan. Ikhlas
adalah memurnikan amalan dari segala yang mengotorinya. Dan ini merupakan
pengamalan dari surat al-Fatihah ayat 5, “Hanya kepadaMu kami menyembah dan
hanya kepadaMu kami mohon pertolongan.” Intinya ikhlas itu memurnikan
amalan hanya untuk Allah semata. Beramal hanya untuk Allah, mengharap ridho
Allah.
Ada sebuah pernyataan yang sangat
menarik dari menantu Rasulullah yang juga termasuk dalam golongan al-asroh
mubasyiriina bi al-Jannah (sepuluh orang yang masuk surga terlebih dahulu),
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tentang keikhlasan dalam menuntut
ilmu. Beliau berkata : “Wahai para pembawa ilmu, beramallah dengan ilmu kalian.
Karena, yang disebut alim adalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan
ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang membawa ilmu tidak
melebihi kerongkongan mereka. Ilmu mereka bertentangan dengan amal mereka. Batin
mereka bertentangan dengan lahir mereka. Mereka duduk dalam halaqoh untuk
saling berdebat antara yang satu dengan yang lain. Hingga ada seseorang yang
marah kepada rekannya, lalu berpindah dengan yang lain dan meninggalkan
rekannya. Amalan mereka dalam majlis itu tidak akan bisa naik kepada Allah Ta’ala.
Jleeeeeb sangat. Sementara masih
banyak di antara kita yang menuntut ilmu hanya untuk beradu pikiran, opini mau
pun berdebat. Membaca sebanyak-banyaknya, bertanya kepada orang-orang berilmu,
menghadiri majlis-majlis ilmu hanya untuk mencari pembenaran untuk bisa
mengalahkan pemikiran orang lain. Tak lain tak bukan hanya supaya dianggap ‘ini
lho gue punya ilmu’ atau ‘ilmu yang gue punya yang bener, ilmu lo salah’.
Tapi.. jangan karena takut tidak
ikhlas dalam menuntut ilmu lantas malas untuk mencari ilmu. Lebih baik saya
tidak menuntut ilmu daripad saya tidak ikhlas. Bukan. Bukan itu. Dan tidak
seharusnya kata itu keluar karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu
‘anhu mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal
karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau
terselamatkan dari dua hal tadi.”
Lantas apa yang harus kita
lakukan supaya bisa ikhlas dalam tholabul ‘ilm? Mungkin untuk yang satu
ini, kita bisa belajar bareng sama Fandy dan Saprol yang ditantang oleh Pak Haji
untuk belajar ilmu ikhlas (nostalgia Kiamat Sudah Dekat…hehe).
Tenang, alhamdulillah masalah
satu ini pernah dibahas di web rumaysho.com. Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin
Hamd al-‘Ushoimi hafizhahullah mengatakan ikhlas dalam tholabul ‘ilm
itu bisa diperoleh jika :
1. Diniatkan untuk menghilangkan kebodohan diri sendiri
2. Diniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain
3. Diniatkan untuk menghidupkan dan menjaga ilmu
4. Dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Apabila sudah muncul
kecenderungan riya’ pada diri kita ketika menuntut ilmu, maka segeralah
sibukkan diri untuk memperbarui niat. Dan ini banyak juga dilakukan oleh para
penuntut ilmu pada generasi-generasi sebelum kita. Sufyan ats-Tsaury bahkan
mengatakan “Tidakkah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit bagiku dari
mengobati niatku. Karena niat itu selalu berbolak-balik pada diriku.”
‘Ubaidillah bin Abi Ja’far memberi nasehat “Apabila seseorang
berbicara dalam sebuah majlis, lalu pembicaraan tersebut membuat dirinya
takjub, maka hendaklah ia diam. Apabila diam itu membuatnya takjub, maka
hendaklah ia berbicara.”
Sheikh Sholih Munajid dalam
kitabnya al-Ikhlas mengatakan, Barangsiapa yang merasa bahwa dalam
ikhlasnya terdapat keihklasan maka sesungguhnya ikhlasnya itu membuthkan
keikhlasan. Buat yang kurang paham dengan ibarat ini, maaf saya belum bisa
menerjemahkannya dengan baik ke bahasa indonesia. Lebih dalem maknanya dalam
bahasa arab. Kalimat arabnya begini :
من شَهِدَ في إخْلاَصِه الإخْلاَص, فإخلَاصه يَحْتَاجُ إلىَ إخْلاَص
Kita akhiri pembahasan ikhlas ini
dengan petuah Imam Ghazali rahimahullah kala beliau mengingatkan para
penuntut ilmu akan pentingnya mengevaluasi diri dan bertanya tentang motif yang
mendorongnya untuk menuntut ilmu dan siap menanggung semua rintangannya. Beliau
berkata, “Berapa banyak malam yang telah kamu hidupkan untuk mengulang ilmu
dan mentelaah kitab-kitab. Kamu menahan diri untuk tidur. Aku tidak tahu apa
motifasimu dari itu semua? Apabila niatmu untuk mencari kesenangan dunia,
mengumpulkan kekayaannya, mencari kedudukan dan membanggakan diri di hadapan
para sahabat dan orang-orang sepertimu, maka celakalah kamu dan celakalah kamu.
Namun, apabila tujuanmu dalam menuntut ilmu adalah untuk menghidupkan syari’at
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mendidik akhlaqmu dan menghancurkan
nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan, maka beruntunglah kamu dan
beruntunglah kamu.
Agaknya ikhlas mudah diucapkan
dan sulit untuk direalisasikan. Tapi tak apa, yang penting mari perbaiki niat
kita detik demi detik. Niatkan semuanya lillahi ta’ala. Tak heran rasanya kalau Bapak,
dari dulu sampai sekarang, nasihat yang diucapkan ketika anaknya sedang
menuntut ilmu adalah “Yang ikhlas ya Nak…”
Insya Allah, etika berilmu lainnya akan dibahas di postingan berikutnya. Semoga bermanfaat :)
Wallahu a’lam bishowab
0 comments:
Post a Comment