Friday 14 June 2013

Etika Berilmu, IKHLAS

Di postingan sebelumnya kita sudah membahas keutamaan orang berilmu dan mengapa kita harus menjadi orang berilmu. Insya Allah pada postingan kali ini kita akan membahas etika yang harus dimiliki oleh seorang pencari ilmu dalam mencari ilmu. Masih diambil dari sumber yang sama Aadab Thoolibul ‘Ilmi-nya Syeikh Anas Ahmad Karzoun (kebetulan saya lagi mereview kitab ini di kuliah).

Buat yang belum tau, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq). Ini kata KBBI. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sang guru terhebat pun mengajarkan etika sebelum ilmu. Dan metode ini juga diikuti oleh para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu ajmaiin.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in melakukan hal yang sama, mendahulukan pengajaran etika sebelum ilmu. Teringat juga akan kisah Malik bin Anas ketika disuruh ibunya untuk berguru kepada Rabi’ah. Ibunya meminta Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu untuk mempelajari etika sebelum mempelajari ilmu. Mengapa etika harus didahulukan sebelum ilmu?

Etika mengarahkan para penuntut ilmu kepada sesuatu yang harus dijaga. Baik itu akhlaq, etika terhadap diri sendiri, keluarga, guru, teman dan orang-orang di sekitar. Oleh karena itu pengajaran etika ini tidak dapat dipisahkan dari pengajaran ilmu. Ilmu apapun. Entah itu ilmu kedokteran, fisika, kimia, fiqh, hadits, qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Belajar menjadi seorang peretas pun ada etikanya. Dalam bukunya Hacking for Dummies, Kevin Beaver memulai tulisannya dengan bab Building the Foundation for Ethical Hacking. Belajar menjadi seorang jurnalis juga ada kode etik yang harus diketahui.

Ibnu Syihab berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah etika Allah yang telah diajarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada umat beliau. Ilmu juga merupakan amanat Allah kepada Rasul-Nya agar disampaikan apa adanya. Maka barangsiapa yang mendengar suatu ilmu, maka hendaklah ia meletakkannya di depannya sebagai hujjah antara dirinya dan Allah. (Dapat dibaca dalam al-Jami’ li Akhlaaqi ar-Raawii wa Aadaabi as-Sami’ milik Khotib al-Baghdadi)

Kembali ke tema, dalam buku Adaab Thoolibul ‘Ilmi milik Dr. Anas Ahmad Karzoun, atau yang dalam bahasa Indonesianya Etika Pencari Ilmu, disebutkan tiga belas etika yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu. Tapi pada postingan kali ini, penulis hanya akan menyebutkan beberapa etika saja. Insya Allah pada postingan berikutnya akan dilanjutkan.

Adab yang pertama adalah Ikhlas. Ini merupakan hal pertama yang wajib dimiliki oleh seorang penuntut ilmu. Ikhlas adalah sebab sebuah amal diterima Allah. Dalam hadits ‘arbain, riyadhus shalihin, umdatul ahkam dan kitab-kitab hadits lain dimulai dengan bab ikhlas. Bahkan haditsnya sangat masyhur dan banyak dihafal oleh ummat Islam. Apalagi kalau bukan hadits tentang niat.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (ia akan mendapatkan) pahala hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ia kejar atau wanita yang hendak ia nikahi, maka ia hanya akan mendapatkan sesuai niat hijrahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)   

Hadits ini mengisahkan tentang seorang sahabiyah bernama Ummu Qais. Imam ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwasanya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata : “Di antara kami ada seorang lelaki melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita ini menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”

Para ulama bersepakat bahwa perbuatan seorang Muslim tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Allah berkalam dalam surat al-Bayyinah ayat 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Bila penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya lillahi ta’ala, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar, usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh Allah berikan kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka. Namun, bila keikhlasan hilang dari dirinya dan ia terasuki noda-noda riya’, serta tujuan menuntut ilmunya adalah untuk berdebat, popularitas, mengejar pangkat dan jabatan tengah-tengah manusia, maka ilmu tersebut akan menjadi bukti keburukannya pada hari kiamat. Wal iyadzu billah.

Betewe ikhlas itu apaan sih? Dari tadi ngalor ngidul ngomongin ikhlas, tapi kita belum tahu apa makna ikhlas itu sendiri. Imam Ibnul Qayyim memaknai ikhlas dengan mengesakan Allah di dalam tujuan atau keingimnan ketika melakukan ketaatan. Ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala yang mengotorinya. Dan ini merupakan pengamalan dari surat al-Fatihah ayat 5, “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan.” Intinya ikhlas itu memurnikan amalan hanya untuk Allah semata. Beramal hanya untuk Allah, mengharap ridho Allah.

Ada sebuah pernyataan yang sangat menarik dari menantu Rasulullah yang juga termasuk dalam golongan al-asroh mubasyiriina bi al-Jannah (sepuluh orang yang masuk surga terlebih dahulu), Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tentang keikhlasan dalam menuntut ilmu. Beliau berkata : “Wahai para pembawa ilmu, beramallah dengan ilmu kalian. Karena, yang disebut alim adalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang membawa ilmu tidak melebihi kerongkongan mereka. Ilmu mereka bertentangan dengan amal mereka. Batin mereka bertentangan dengan lahir mereka. Mereka duduk dalam halaqoh untuk saling berdebat antara yang satu dengan yang lain. Hingga ada seseorang yang marah kepada rekannya, lalu berpindah dengan yang lain dan meninggalkan rekannya. Amalan mereka dalam majlis itu tidak akan bisa naik kepada Allah Ta’ala.

Jleeeeeb sangat. Sementara masih banyak di antara kita yang menuntut ilmu hanya untuk beradu pikiran, opini mau pun berdebat. Membaca sebanyak-banyaknya, bertanya kepada orang-orang berilmu, menghadiri majlis-majlis ilmu hanya untuk mencari pembenaran untuk bisa mengalahkan pemikiran orang lain. Tak lain tak bukan hanya supaya dianggap ‘ini lho gue punya ilmu’ atau ‘ilmu yang gue punya yang bener, ilmu lo salah’.

Tapi.. jangan karena takut tidak ikhlas dalam menuntut ilmu lantas malas untuk mencari ilmu. Lebih baik saya tidak menuntut ilmu daripad saya tidak ikhlas. Bukan. Bukan itu. Dan tidak seharusnya kata itu keluar karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”

Lantas apa yang harus kita lakukan supaya bisa ikhlas dalam tholabul ‘ilm? Mungkin untuk yang satu ini, kita bisa belajar bareng sama Fandy dan Saprol yang ditantang oleh Pak Haji untuk belajar ilmu ikhlas (nostalgia Kiamat Sudah Dekat…hehe).

Tenang, alhamdulillah masalah satu ini pernah dibahas di web rumaysho.com. Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamd al-‘Ushoimi hafizhahullah mengatakan ikhlas dalam tholabul ‘ilm itu bisa diperoleh jika :
1. Diniatkan untuk menghilangkan kebodohan diri sendiri
2. Diniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain
3. Diniatkan untuk menghidupkan dan menjaga ilmu
4. Dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.

Apabila sudah muncul kecenderungan riya’ pada diri kita ketika menuntut ilmu, maka segeralah sibukkan diri untuk memperbarui niat. Dan ini banyak juga dilakukan oleh para penuntut ilmu pada generasi-generasi sebelum kita. Sufyan ats-Tsaury bahkan mengatakan “Tidakkah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit bagiku dari mengobati niatku. Karena niat itu selalu berbolak-balik pada diriku.”

‘Ubaidillah bin  Abi Ja’far memberi nasehat “Apabila seseorang berbicara dalam sebuah majlis, lalu pembicaraan tersebut membuat dirinya takjub, maka hendaklah ia diam. Apabila diam itu membuatnya takjub, maka hendaklah ia berbicara.

Sheikh Sholih Munajid dalam kitabnya al-Ikhlas mengatakan, Barangsiapa yang merasa bahwa dalam ikhlasnya terdapat keihklasan maka sesungguhnya ikhlasnya itu membuthkan keikhlasan. Buat yang kurang paham dengan ibarat ini, maaf saya belum bisa menerjemahkannya dengan baik ke bahasa indonesia. Lebih dalem maknanya dalam bahasa arab. Kalimat arabnya begini :

من شَهِدَ في إخْلاَصِه الإخْلاَص, فإخلَاصه يَحْتَاجُ إلىَ إخْلاَص

Kita akhiri pembahasan ikhlas ini dengan petuah Imam Ghazali rahimahullah kala beliau mengingatkan para penuntut ilmu akan pentingnya mengevaluasi diri dan bertanya tentang motif yang mendorongnya untuk menuntut ilmu dan siap menanggung semua rintangannya. Beliau berkata, “Berapa banyak malam yang telah kamu hidupkan untuk mengulang ilmu dan mentelaah kitab-kitab. Kamu menahan diri untuk tidur. Aku tidak tahu apa motifasimu dari itu semua? Apabila niatmu untuk mencari kesenangan dunia, mengumpulkan kekayaannya, mencari kedudukan dan membanggakan diri di hadapan para sahabat dan orang-orang sepertimu, maka celakalah kamu dan celakalah kamu. Namun, apabila tujuanmu dalam menuntut ilmu adalah untuk menghidupkan syari’at Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mendidik akhlaqmu dan menghancurkan nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan, maka beruntunglah kamu dan beruntunglah kamu.

Agaknya ikhlas mudah diucapkan dan sulit untuk direalisasikan. Tapi tak apa, yang penting mari perbaiki niat kita detik demi detik. Niatkan semuanya lillahi ta’ala. Tak heran rasanya kalau Bapak, dari dulu sampai sekarang, nasihat yang diucapkan ketika anaknya sedang menuntut ilmu adalah “Yang ikhlas ya Nak…”

Insya Allah, etika berilmu lainnya akan dibahas di postingan berikutnya. Semoga bermanfaat :)


Wallahu a’lam bishowab

0 comments:

Post a Comment

 

Ich bin Muslime ^^ Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template