Bagi seorang Muslimah, hijab adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Dan hijab bukanlah sebuah kata yang asing bagi seorang Muslimah. Karena hijab adalah perintah Allah kepada Muslimah yang termaktub dalam mu’jizat yang diwahyukan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 yang artinya :
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Dan firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dua ayat di atas adalah perintah yang sangat jelas bagi Muslimah untuk menghijabi dirinya. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang masalah kewajiban bercadar atau tidak. Hijab yang penulis maksud di sini adalah pakaian Muslimah yang sesuai dengan syariat Islam. Yaitu kain kerudung yang digunakan harus menutupi dada, pakaian yang dikenakan tidak ketat dan memperlihatkan lekuk tubuh, tidak tipis dan transparan, tidak menyerupai laki-laki, tidak berwarna menyolok hingga menarik perhatian, dan tidak tasyabbuh atau menyerupai orang kafir.
Dulu di tahun 80-an, Muslimah di Indonesia mengalami kendala untuk berhijab secara syar’i. Jangankan untuk bercadar, berkerudung saja susah. Banyak remaja yang terpaksa keluar dari sekolah negerinya untuk mempertahankan hijabnya. Bahkan ada Muslimah yang jilbabnya dibuka secara paksa di pinggir jalan. Padahal Indonesia di kenal dengan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Astaghfirullahal’adzim. Padahal salah satu tujuan dari syariat hijab kan untuk membedakan antara perempuan Muslim dan perempuan kafir. Nggak heran deh kalau dulu (sekarang juga masih sih) sulit sekali membedakan mana perempuan Islam dan perempuan yang bukan Islam. Gimana nggak, perempuan Muslim sama perempuan kafir-nya sama-sama tidak berhijab. Para jilbaber pun tidak tinggal diam dengan larangan berjilbab di kala itu. Mereka terus menyuarakan hak mereka untuk berjilbab. Dan alhamdulillah pada tahun 1991 seluruh Muslimah di Indonesia bisa bebas menjalankan syariat hijab setelah keluar SK No.100/C/KEP/D/1991.
Banyak orang awam menganggap jilbab atau kerudung itu hanya sekedar kultur atau budaya suatu daerah semata. Namun tak sedikit dari awamin yang kemudian latah mengenakan jilbab setelah film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih booming di jagat per-film-an Indonesia. Mereka berusaha untuk meniru Aisyah atau Anna Althafunnisa. Sangat disayangkan penyakit latah ini membuat orang-orang yang mengenakan jilbab kembali membuka jilbabnya ketika ada trend baru lagi. Jilbab yang mereka kenakan bukan semata-mata kesadaran akan perintah Allah.
Apalagi beberapa tahun terakhir ini makin banyak wanita Indonesia yang mulai menghiasi kepalanya dengan balutan kerudung. Berbagai model busana Muslimah pun bermunculan, dari mulai kaftan, kerudung ninja, pashmina, dan lainnya. Model kerudung yang dikenakan juga berwarna-warni dan beraneka ragam. Ada yang modelnya dililitkan di leher hingga membuat sesak napas ataupun hanya disampirkan saja di kepala. Alasannya sih lawas biar tetap modis dan nggak katro. Sangat disayangkan sekali mind set para Muslimah yang mengenakan jilbab hanya mengikuti trend semata. Dan mind set seperti ini banyak menimpa para remaji Muslim.
Saudariku, ketika kita telah memilih Islam sebagai jalan hidup kita, sudah barang tentu kita siap untuk diatur dengan aturan Allah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ketika kita mengikrarkan syahadatain, kita juga harus siap menerima konsekuensinya. Bukan hanya ber-Islam dan ber-Iman. Bukan hanya sekedar mempercayai dalam hati dan mengucapkannya secara lisan enam rukun iman secara fasih. Tapi juga harus ada bukti nyata dengan perbuatan. Kita percaya bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah tapi tidak mempercayai segala sesuatu yang termaktub di dalam nya. Kita percaya dengan hari kiamat tetapi tidak mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.
Saudariku yang sholehah, ketika kita sudah memutuskan untuk berhijab, kita juga harus siap dengan konsekuensinya. Berhijab bukanlah sekedar membungkus diri dengan pakaian syar’i. Dengan berhijab berarti kita harus lebih menjaga diri. Hijab bukanlah pakaian semata, tapi juga harus menjaga pandangan. Hijab diri saja tidak cukup apabila tidak dilengkapi dengan hijab hati. Banyak wanita Muslimah yang terkadang hanya menghijabi dirinya dan lupa untuk menghijabi hatinya. Misalnya berhijab rapat tapi masih meng-ghibah-i orang lain. Atau berhijab tapi masih sering keceplosan membuka aib orang lain. Berhijab tapi lupa untuk berbakti kepada orang tua atau suami karena terlalu sibuk berdakwah. Berhijab tapi masih suka mencela orang lain. Berpakaian syar’i biar dianggap sebagai orang yang taat beragama. Berhijab tapi matanya masih celelean melihat ikhwan. Atau ada juga yang berhijab tapi hatinya masih kebat-kebit ketika bertemu dengan ikhwan yang aktif berdakwah.
Nah untuk tipe yang terakhir ini biasanya banyak menimpa para akhwat aktivis dakwah yang belum berkeluarga. Apalagi kalau udah diajak diskusi sama si ikhwan. Waaah…makin kebat-kebit tuh hatinya. Lebih gawat lagi kalau udah sampai bertukar nomor hape dengan alasan ‘diskusi’ atau ‘konsultasi’. Terus sms saling bangunin tahajud. Siap-siap aja deh virus merah jambu makin menggerogoti:DD
Oleh karena itu saudariku, mari kita sama-sama mengintrospeksi diri. Sudahkah kita menghijabi hati kita setelah menghijabi diri? Tentunya menghijabi diri harus didahulukan. Karena Insya Allah apabila kita memutuskan untuk menghijabi diri, Allah akan membantu kita untuk menghijabi hati kita. Ketika diri sudah dihijabi, keinginan untuk menjadi makhluk yang dicintai Allah akan timbul dengan sendirinya. Dan hal-hal yang dibenci oleh Allah secara otomatis akan terjauhi, baik itu ghibah atau penyakit hati lainnya. Yang penting adalah selalu memperbaiki niat untuk berhijab. Apakah motivasi kita berhijab? untuk menjalankan syariat Allah kah? Atau hanya sekedar peraturan dan dianggap sebagai orang yang beriman?
Wallahu a’lam bishowab
NB : Tulisan ini juga dimuat di kolom muslimah yang ada di web www.isykarima.com…:DD
0 comments:
Post a Comment