“Kalau ada murid saya yang menyingkat kata shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi SAW atau subhanahu wa ta’ala menjadi SWT pada lembar jawabannya langsung saya coret dan saya salahkan. Sekalipun jawabannya benar, tapi kalau sampai ada singkatan itu tetap saya salahkan”, ucap ustadz saya ketika sedang ta’lim.
Iih... ustadz lebay sampai segitunya. Kan singkatan menghemat kertas. Batin saya sebelum mendengar penjelasan dari beliau. Saya baru tahu kalau ternyata tidak pantas bagi seorang tholabul ‘ilmi seperti itu. Kurang lebih begini penjelasannya.
Dalam Islam pada hakikatnya setiap perkataan adalah doa. Baik itu perkataan baik maupun buruk. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk selalu berkata baik atau diam. Contoh simple-nya adalah assalamu’alaikum. Yah...kata yang teramat masyhur di kalangan masyarakat Indonesia ini –bukan hanya yang beragama Islam- mengandung doa yang luar biasa. Assalamu’alaikum adalah bahasa Arab yang artinya ‘semoga keselamatan atasmu’. Tapi sayang banyak yang lebih senang memplesetkan pengucapannya supaya lebih mudah menjadi ‘samlekum’ atau ‘samelekum’. Beda pengucapan tentunya beda arti. Kata ‘samlekum’ tentunya sudah berbeda makna dengan assalamu’alaikum. Ucapan yang awalnya berisi doa berubah menjadi sapaan biasa. Atau bahkan ada yang menyingkatnya menjadi ass. Padahal maknanya sangat jauh berbeda dengan assalamu’alaikum. Mungkin maksudnya ingin mengucapkan salam tapi kalau orang yang diucapi salam tidak mengerti maksudnya dan menganggap itu adalah bahasa inggris yang artinya orang bodoh, gimana coba?
Kita dianjurkan untuk memberi ucapan selamat dan mendoakan kaum muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Kepada yang masih hidup dan kebetulan kita berjumpa dengannya atau menyapanya melalui dunia maya, sms ataupun surat hendaknya kita mengucapkan assalamu’alaikum.
Sementara terhadap orang lain yang kita sebutkan namanya tetapi kita tidak berjumpa dengannya kita mengucapakan hafizhahullah yang artinya semoga Allah menjaganya. Adapun untuk muslim yang sudah wafat, ketika kita menyebutkan namanya hendaknya kita mengucap rahimahullah. Yang artinya semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Begitu juga ketika menyebutkan ulama-ulama terdahulu seperti Imam ath-Thabari rahimahullah atau Imam asy-Syafii rahimahullah.
Kemudian ketika menyebut para sahabat Nabi, kita dianjurkan untuk mengucap radhiyallahu ‘anhu yang artinya semoga Allah meridhainya. Apabila yang disebutkan dua orang maka diubah dhomir-nya menjadi radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya ketika menyebut ‘Umar bin Khattab dan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dan jika yang disebut lebih dari tiga sahabat maka diubah menjadi radhiyallahu ‘anhum.
Terus untuk para Nabi –selain Rasulullah- kita dianjurkan untuk mengucap ‘alaihissalaam setelah menyebutkan nama salah satu Nabi. Jika berdua maka menjadi ‘alaihimassalaam dan kalau lebih dari dua menjadi ‘alaihimussalaam. Adapun untuk Rasulullah kita dianjurkan untuk mengucap shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Nah, untuk masalah menyingkat ‘alaihissaalaam menjadi AS atau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjad SAW, ulama hadits menganggap hal ini tidak layak. Bukan berarti mengharamkannya. Para ulama berpendapat paling tinggi derajatnya adalah makruh. Itu untuk singkatan AS atau SAW, lantas bagaimana dengan subhanahu wa ta’ala yang disingkat menjadi SWT? Tentunya ini lebih elok lagi. Memang singkatan-singkatan seperti AS, SAW dan SWT sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia dan mayoritas orang memahaminya. Tapi kalau misalkan ada orang yang belum memahami makna dari singkatan itu –SWT penisbatan kepada Allah- maka hukumnya menjadi haram.
Ucapan ‘alaihissalaam dan shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan doa. Bagaimana maksud doa bisa tersampaikan jikalau pengucapannya tidak sempurna atau bahkan tidak jelas. Lagipula bukankah kita dianjurkan untuk selalu bershalawat kepada Rasulullah? Dan orang yang tidak bershalawat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang pelit.
Dalam Fatawaa Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa ada sebuah pertanyaan:
Bolehkah menulis huruf (ص) –dalam bahasa Arab, shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa disinkat dengan huruf sha- yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Jawabannya:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent)tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikiantidak pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Bisa dibuka di Fatawaa Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa, Jilid 12 hlm. 208, pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 5069)
Oleh karena itu, mari kita ubah kebiasaan menyingkat ini dan membudayakan menulis shalawat terhadap Rasulullah dan Nabi lainnya secara lengkap. Dan membudayakan menulis ungkapan tasbih kepada Allah tanpa menyingkatnya menjadi tiga huruf.
Wallahu ta’ala a’lam
0 comments:
Post a Comment