“Don’t say NO to children”,
Jangan katakan TIDAK pada anak. Pernah dengar konsep pendidikan anak seperti
ini? Atau mungkin konsep ini kita terapkan dalam pendidikan kita? Konsep ini
mulai naik daun di tahun 2000-an. Haram hukumnya bagi orang tua atau tenaga
pendidik untuk berkata ‘tidak’, ‘nggak’ atau ‘jangan’ kepada anak. Misalnya
‘jangan nakal’, ‘jangan malas’, ‘tidak boleh’ atau tidak-tidak dan
jangan-jangan lainnya. Sebisa mungkin kata-kata itu –yang notabenenya bersifat
negatif- diganti dengan kalimat positif. Walaupun tujuannya sebagai larangan.
Contoh, kata ‘jangan malas’ diganti dengan ‘rajinlah’.
Berdasarkan konsep ini, kalimat
negatif cenderung memberi kesan mengekang. Sekilas konsep ini terlihat menari.
Anak-anak diajarkan untuk lebih berani
mengapresiasi diri. Konsep ini juga mendidik orang tua untuk lebih menghargai
potensi anak untuk berkembang. Tak ada salahnya kita mencoba untuk
meminimalisir penggunaan kata-kata ‘tidak’ atau ‘jangan’ kepada anak. Tapi
penafian kata ‘tidak’ atau ‘jangan’ justru akan berakibat fatal. Mengapa
demikian? Karena penafian kata ‘tidak’ atau ‘jangan’ bertentangan dengan konsep
pendidikan anak dalam Islam.
Setiap orang Islam pasti bersyahadat, karena syahadat adalah syarat Islam-nya seseorang. Syahadatain merupakan pembeda antara seorang Muslim dengan kafir. Syahadat merupakan inti atau pondasi dari ajaran Islam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, pakar parenting terhebat sepanjang masa, mengajarkan ummatnya bahwa hal pertama yang harus diajarkan kepada anak adalah konsep aqidah. Tujuannya untuk membangun pondasi anak dengan pemahaman aqidah yang kokoh ketika sudah besar nanti.
Dalam kalimat syahadat pun
termaktub kata larangan.
لاَإِلَهَ
إِلاَّ الله وَ أَنَّ مُحَمَّدٌرَسُوْلُ الله
Tidak ada Illah
yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.
Sebenarnya makna yang terkandung
dalam kalimat tahlil di atas lebih dalam lagi, yaitu tidak ada rabb yang
berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah. Inilah tafsir yang benar menurut
para salaful ummah. Laa ilaaha menafikkan hak penyembahan dari selain
Allah, siapa pun orangnya. Sedangkan illallah adalah penetapan hak Allah
semata untuk disembah. Atau bisa juga diartikan dengan لاَ
مَعْبُوْدَبِحَقِّ إِلاَّ الله atau tidak ada sesembahan yang hak
disembah selain Allah.
Penegasan dalam konsep pendidikan
Islam sangatlah penting. Ajaran Islam tidak hanya berisi perintah atau
kewajiban-kewajiban, tapi juga ada larangan. Dan pendelegasian kata ‘tidak’
atau ‘jangan’ merupakan konsekuensi dari keimanan.
Masih ingat dengan Luqman
al-Hakim? Seorang bijak yang namanya terukir indah dalam al-Qur’an. Salah satu
pakar parenting Islam terbaik sepanjang masa. Betapa tidak? Cara beliau
mendidik anak diabadikan dalam kitab suci terbaik sepanjang masa (al-Qur’an),
dan dijadikan rujukan oleh para orang tua dalam pendidikan anaknya.
Hal pertama yang beliau ajarkan
kepada anaknya adalah
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Luqman mengajarkan anaknya untuk
tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun. Karena menyekutukan Allah adalah
kezaliman besar. Beliau tanpa ragu menggunakan kata negatif ‘janganlah’ sebagai
bukti penegasan dalam ayat ini. Padahal bisa saja kata ‘janganlah kamu
menyekutukan Allah’ diganti dengan ‘sembahlah Allah’.
Ikhwah fillah, penegasan
merupakan sebuah keniscayaan dalam pendidikan Islam. Dan penegasan ini tak
bermakna ketika menghilangkan konsep
separuh larangan. Luqman menggunakan kata ‘jangan’ kepada anaknya dengan tujuan
menutup pengakuan adanya Illah lain yang berhak disembah selain Allah.
Mari kita cermati, dalam Al-Qur’an
Allah pun menggunakan kata ‘tidak’ ataupun ‘jangan’. Allah berkalam dalam surat
Ali Imran ayat 102 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Juga di surat Al-Maidah ayat 51
yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Dan surat Ali Imran ayat 196-198
yang artinya
“Janganlah sekali-kali
kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu
hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam;
dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.”
Ini menandakan bahwa dalam ajaran
Islam pun terdapat kata larangan, dan itu tidak dapat dielakkan. Tak salah
menghindari pemakaian kata ‘tidak’ atau ‘jangan’ kepada anak. Dengan penafikkan
atau peniadaan larangan dapat memudarkan rasa hormat anak kepada orang tua atau
pendidik. Dan ini terjadi akibat lunaknya hukuman yang diberikan orang tua. Namun
bukan berarti anak harus diberik hukuman dengan keras. Perlu diperhatikan juga
bahwa tak melulu larangan harus diberikan kepada anak. Untuk masalah aqidah,
orang tua harus tegas, apalagi menyangkut masalah wala’ wal bara’.
Ah…rasanya tak pantas saya
berujar seperti ini. Saya belum menjadi parent juga bukan master pendidikan. Para
orang tua atau pendidik agaknya lebih mafhum dari saya yang baru belajar ini. Dan
semoga ini bisa saya aplikasikan dalam kehidupan saya, bukan hanya sekedar
tulisan teori. Aamiin.
Wallahu ta’ala a’lam
Al Maidah : 51... jempol... :) Tx 4 share...
ReplyDeleteSyukron pengetahuannya mbak..
ReplyDelete